Minggu, 05 Februari 2012

RENUNGAN HARI PERS NASIONAL 2012 : TEKANAN PEMERINTAH KOLONIAL JEPANG TERHADAP INSAN PERS REPUBLIKEN DI BORNEO MENSEIBU COKAN 1942-1945

Oleh Tajuddin Noor Ganie, M.Pd

Pada tanggal 10 Januari 1942, JJ Haga yang ketika itu menjadi Gubernur Belanda di Provientie Zuider en Oster Afdeling van Borneo (ZeO-AvB) sudah menerima laporan intelijen bahwa pos terdepan militer Belanda di Tarakan sudah jatuh ke tangan bala tentara Dai Nippon.
Tarakan kota yang terletak di Borneo Utara itu diserbu oleh pasukan Rikugun (angkatan darat) di bawah komando Kapten W, Okomoto. Pasukan militer Belanda terpaksa melepas nyawa di sana, jadi tawanan perang, atau lari kocar-kacir menyelamatkan diri ke mana-mana.
Lebih jauh juga diterima laporan intelijen bahwa penyerbuan ke Tarakan itu merupakan bagian awal dari strategi militer bala tentara Dai Nippon untuk merebut kota Banjarmasin yang ketika itu menjadi pusat pemerintahan kolonial Belanda di Borneo.
Benar saja, 24 Januari 1942, 500 orang anggota pasukan Rikugun Jepang sudah mendarat di Teluk Adang, Balikpapan. Selanjutnya mereka menerobos hutan belantara dengan cara berjalan kaki atau naik sepeda yang dirampasnya dari tangan penduduk di sepanjang jalan yang dilaluinya. Tanggal 4 Februari 1942, mereka sudah tiba di Muara Uya, dan 6 Februari sudah berhasil merebut kota Tanjung dari tangan pasukan militer Belanda.
Begitu berhasil merebut kota Tanjung, Kapten W. Okomoto, komandan pasukan gabungan bala tentara Dai Nippon, langsung memerintahkan penangkapan atas kontrolir Belanda di Tanjung van Luth. Pejabat tertinggi pemerintah kolonial Belanda ini lalu diperintahkannya mengayuh sepeda dengan berpakaian dinas lengkap menuju ke kota Banjarmasin.
Pada hari itu juga berita tentang kedatangan bala tentara Dai Nippon di Tanjung sudah sampai ke Amuntai, Barabai, Kandangan, Rantau, Martapura, dan Banjarmasin.Aspirant Controleur Belanda di kota-kota setempat segera memerintahkan pasukan AVC (Afweren Vernielings Corp) untuk melakukan pembumi-hangusan sebelum bala tentara Dai Nippon tiba di kota-kota yang masih berada di bawah kontrol mereka.
Tanggal 9 Februari 1942, Gubernur Belanda JJ Haga menyingkir ke Kapuas, pejabat Belanda yang lain ke Purukcahu, Komandan Militer Belanda Halkema ke Kotawaringin kemudian menyeberang ke Pulau Jawa.
Pada hari yang sama. pasukan AVC membakar habis kota Banjarmasin, kota ini benar-benar menjadi lautan api. Di Banua Anyar dan Bagau, pasukan AVC membakar kaleng-kaleng minyak tanah, minyak pelumas, bensin, dan avtur. Di tengah kota mereka membakar instalasi listrik (Aniem), instalasi radio, pelabuhan, gudang karet milik Hok Tong, dan jembatan Coen. Pendek kata api membumbung di mana-mana di seantero kota Banjarmasin.
Sementara itu, rakyat miskin di kota Banjarmasin segera turun ke jalan-jalan, mereka memanfaatkan kesempatan “membeli” aneka jenis barang dengan harga diskon seratus persen di toko-toko milik orang Cina, dan gudang-gudang barang milik firma-firma Belanda. Suasana anarkis yang terjadi ketika itu boleh jadi lebih hebat dibandingkan peristiwa kerusuhan Jum’at Kelabu, 23 Mei 1997 (Amuk Banjarmasin) tempo hari.
Pada tanggal 10 Februari 1942, sekitar pukul 14.00 Wita bala tentara Dai Nippon tiba di kota Banjarmasin. Mereka geram melihat kota Banjarmasin sudah porak-poranda seperti itu. Mereka kemudian menyuruh rakyat untuk menangkapi orang Belanda dan orang Cina. Satu jam kemudian, Walikota Banjarmasin R. Mulder, Kepala Polisi Ruitenberg, Meulemans, 6 orang Belanda lainnya, dan 3 orang Cina warga kota Banjarmasin dihukum pancung di sisi jembatan Coen.
Sementara itu, di Telawang, bala tentara Dai Nippon memancung leher mantan Kontroleur Tanjung van Luth, Inspektur Labrijn, mantan Kontroleur Pelaihari Balk, dan pegawai rubberrestriksi HJ Honing.
Pada hari itu juga, pasukan Kaigun (Angkatan Laut Dai Nippon) mendarat di salah satu pantai di kawasan Tanah Laut. Dari sini mereka berjalan kaki ke Banjarmasin untuk bergabung dengan pasukan Rikugun yang sudah sampai duluan. Tanggal 11 mereka tiba di tempat yang dituju.
Pada saat terjadinya kerusuhan politik di kota Banjarmasin (9-10 Februari 1942 ), kantor pusat dan percetakan Surat Kabar Suara Kalimantan milik Anang Abdul Hamidhan juga tidak luput dari tindakan pengrusakan yang dilakukan oleh pasukan AVC Belanda. Bahkan, pengrusakannya dinomor-satukan dibandingkan dengan fasilitas khusus dan fasilitas umum lainnya yang ada di kota Banjarmasin.
Selain khawatir asset penting ini jatuh ke tangan bala tentara Dai Nippon dan kemudian dimanfaatkan untuk mendukung kepentingan mereka dalam perang Asia Timur Raya. Pemerintah Belanda juga memanfaatkan situasi genting itu untuk menghukum atau setidak-tidaknya merugikan AA Hamidhan sebagai pemilik surat kabar berhaluan Republiken dimaksud. Hal ini berkaitan dengan isi pemberitaan Surat Kabar Suara Kalimantan yang akhir-akhir ini sangat merugikan kepentingan pemerintah kolonial Belanda di daerah ini.
Pada tanggal 16 Februari 1942, Kapten W. Okomoto mulai melakukan konsolidasi di wilayah kekuasaannya. Mula –mula ia memanggil para tokoh masyarakat sipil di Banjarmasin untuk membentuk Panitia Pemerintahan Sipil di Borneo Menseibu Cokan.
Panitia Pemerintahan Sipil yang digagas oleh Kapten W. Okomoto dapat dibentuk pada hari itu juga. Pangeran Musa Ardi Kesuma ditunjuk sebagai Ketua, sementara anggotanya terdiri atas 3 orang, yakni : Dokter Soesoedoro, Mr. Rusbandi, dan Hadharyah M.
Situasi kondusif ini memberikan peluang kepada AA Hamidhan untuk membenahi alat-alat pada mesin percetakan surat kabar miliknya yang sudah porak poranda tidak keruan itu. Tidak berapa lama kemudian semua kerusakan pada mesin cetaknya sudah dapat diperbaiki, semua peralatan sudah dapat difungsikan kembali untuk menerbitkan surat kabar. Tanggal 5 Maret 1942, AA Hamidhan sudah berhasil menerbitkan Surat Kabar Kalimantan Raya. Namun, penerbitan surat kabar ini terpaksa dihentikan. Pemerintah kolonial Jepang merekrutnya dengan paksa untuk menjadi Pemimpin Redaksi Borneo Shimboen edisi bahasa Indonesia.
Surat kabar Borneo Shimboen yang berada di bawah kontrol langsung pemerintah kolonial Jepang ini mulai terbit pada tanggal 1 Mei 1942. Demi kelancaran penerbitannya, pemerintah kolonial Jepang mendatangkan mesin cetak surat kabar yang langsung dibawa dari Tokyo oleh para wartawan Jepang yang ditugaskan menangani penerbitan Borneo Shimboen edisi bahasa Jepang.
Surat kabar Borneo Shimboen edisi bahasa Indonesia dikerjakan oleh para wartawan pribumi di bawah pimpinan AA Hamidhan (Pengurus/Pimpinan Redaksi). Para wartawan pribumi lain yang direkrut sebagai anak buah AA Hamidhan ketika itu antara lain adalah AA Rivai (Pengganti Pengurus/Pimpinan Redaksi), Gusti Ahmad Soegian Noor, Fakhruddin Mohani, Marwan Ali, Zaglulsyah, Ahmad Basuni, Sjahransjah, Abdul Wahab, Rosita Gani, Golek Kentjana, dan Janti Tajana.
Selain Surat Kabar Borneo Shimboen, masih ada 2 majalah lain yang terbit di masa pendudukan Jepang ini, yakni Majalah Poernama Raja Kandangan dan Majalah Poespa Wangi Kandangan. Tapi, karena tidak diterbitkan oleh pihak pemerintah kolonial Jepang maka kedua majalah ini sangat ketat diawasi oleh aparat intelijen Jepang (Kempetai). Dapat dibayangkan bagaimana perasaan hati para wartawan pribumi ketika itu. Setiap hari mereka harus bekerja di bawah tekanan, karena salah sedikit nyawa taruhannya.
Sekadar contoh, ketika bekerja di Surat Kabar Borneo Shimboen, AA Hamidhan sempat mendapat peringatan keras dari penguasa militer Dai Nippon. Ketika itu surat kabar yang dipimpinnya memuat berita seremonial pelepasan atau upacara perpisahan yang dilakukan oleh sejumlah penduduk di suatu kampung di daerah ini atas seregu bala tentara Dai Nippon yang akan pindah tugas ke kampung lain.
Ternyata peristiwa semacam itu tidak boleh diliput atau diberitakan di surat kabar. Peristiwa pindah tugas anggota bala tentara Dai Nippon termasuk rahasia negara karena menyangkut strategi militer yang tidak boleh diketahui oleh pihak musuh dalam Perang Asia Timur Raya. Untunglah, pihak penguasa militer Dai Nippon berkenan mengampuninya dengan catatan tidak boleh terulang lagi di masa depan.

Meskipun Surat Kabar Borneo Shimboen nyata-nyata milik pemerintah kolonial Jepang yang terkenal sangat kejam (refresif) itu, ternyata sangat menghargai hasil karya para penulis lokal yang berkenan menyumbangkan karangannya. Mereka tidak lupa memberikan honorarium atas semua tulisan yang dimuat di Surat Kabar Borneo Shimboen. Menurut Artum Artha, honor untuk sebuah puisi ketika itu antara 3-4 ringgit. Sementara honor untuk sebuah cerpen 10 ringgit (Tabloid Wanyi Banjarmasin, Edisi 12/Tahun 1/16 September 1999:6).
Nah, jika pada zaman sekarang ini, 63 tahun Indonesia Merdeka, masih ada surat kabar terbitan Banjarmasin yang tidak memberikan honorarium barang sepuluh ribu rupiah kepada para penulis yang menyumbangkan tulisannya, maka itu berarti pemilik surat kabar dimaksud jauh lebih kejam dibandingkan dengan pemerintah kolonial Jepang.

3 komentar:

  1. Pak Tajuddin, saya hanya ingin meluruskan, kalau Wakil Ridzie saat itu bernama Dr. Sosodoro Djatikoesoemo (bukan soesoedoro), saat ini nama beliau diabadikan menjadi nama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) di kota Bojonegoro - Jawa Timur.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya benar pak sekarang biografinya beliau lagi saya tulis untuk skripsi. kalau bapak punya sumber terkait pak sosodoro bisa hubungi saya pak terima kasih

      Hapus
  2. Bung Reza Terima kasih atas koreksinya.

    BalasHapus