Senin, 14 Februari 2011

AKU DAN EKO SURYADI WS

Tahun 1980, aku pindah dari Banjarbaru ke Banjarmasin. Aku diterima bekerja sebagai PNS di Kantor Direktorat Jenderal Pembinaan dan Penggunaan Tenaga Kerja Kota Banjarmasin. Ketika itu namanya disingkat menjadi Kantor Ditjen Bina Guna Tenaga Kerja.
Pada mulanya aku agak ragu tinggal di Banjarmasin, karena selama ini memang tak pernah hidup mandiri pisah dari orang tua dan saudara-saudara. Tapi tak ada pilihan lain. Sebagai PNS baru bagaimana mungkin aku harus menolak penugasan ini?
Aku bisa saja tetap tinggal di Banjarbaru, tapi biayanya terlalu mahal jika harus bolak-balik naik taksi colt dari Banjarbaru ke Banjarmasin setiap hari. Tarif taksi colt Banjarbaru Banjarmasin ketika itu Rp. 300,- Sementara gajiku cuma Rp. 16.000,-
Begitulah, akhirnya aku memilih menyewa kamar di sebuah rumah di bilangan Jalan Kacapiring VII, tak jauh dari tempat kerjaku yang ketika itu terletak di bilangan Jalan Cempaka I Banjarmasin.
Wow, ternyata kepindahanku ke Banjarmasin membuatku semakin leluasa melampiaskan hobby bacaku dan semakin leluasa pula menekuni hobbyku sebagai penulis karya sastra.
Di kota Banjarmasin aku bisa melampiaskan hobby bacaku di perpustakaan daerah yang ketika itu gedungnya masih terletak di bilangan Jalan Kapten Piere Tendeaan. Di kota Banjarbaru ketika itu belum ada fasilitas umum untuk baca dan pinjam buku gratis seperti ini.
Berkaitan dengan hobbyku sebagai penulis karya sastra, aku bisa ikut baca puisi dalam acara Untaian Mutiara Sekitar Ilmu dan Seni (disingkat UMSIS) di RRI Nusantara III Banjarmasin setiap malam Rabu. Ketika tinggal di Banjarbaru, aku cuma bisa mengikuti siarannya melalui pesawat radio saja. Kini, aku bisa bertatap muka langsung dengan pengasuhnya Bapak Haji Hijaz Yamani almarhum.
Boleh jadi pada kesempatan berbaur ria di RRI Nusantara III Banjarmasin inilah aku berkenalan dengan Eko Suryadi WS (ESWS). Hampir semua penyair muda Banjarmasin ketika itu saling berkenalan di tempat ini. Hal ini mengingat RRI Nusantara III Banjarmasin ketika merupakan pusat pergaulan para penyair muda Banjarmasin. Ketika itu RRI Nusantara III Banjarmasin masih terletak di bilangan Jalan Lambung Mangkurat (gedung dimaksud sudah dibongkar dan diubah menjadi taman).
ESWS ketika itu kukenal sebagai teman sejawat Micky Hidayat di Kantor Dinas Pekerjaan Umum Banjarmasin. Selain itu ESWS juga kukenal sebagai salah seorang penyair Banjarmasin yang berasal dari Kotabaru. Ada beberapa kawan penyair lain yang juga berasal dari Kotabaru, yakni Syamsuddin J, Muhammad Haderani Thalib, Soeparto JS, dan Bayhaqi Hasyim.
Selain aktif menulis dan baca puisi di RRI Nusantara III Banjarmasin, aku, ESWS, dan para penyair Banjarmasin seangkatan juga aktif menulis puisi dan karya sastra lainnya di rubrik Dahaga SKH Banjarmasin Post (asuhan Drs. Hj. Yustan Aziddin alm, H. Hijaz Yamani alm, dan D. Zauhidhie alm).
Tahun 1980-1985, jagat sastra Kalsel tak bisa dipisahkan dari rubrik Dahaga B. Post (begitulah kami sering menyingkatnya). ESWS ketika itu termasuk penyair Kalsel yang produktif memublikasikan puisi-puisinya di Dahaga B. Post.
Aku sendiri tidak produktif menulis puisi, aku lebih banyak menulis esei sastra dan kritik sastra. Objek kritik sastraku ketika itu adalah puisi-puisi karangan teman-teman sastrawan Kalsel lainnya.
Ketika itu aku bisa dengan entengnya memvonis puisi A, B, C, dan D berbobot dan selebihnya tidak. Vonis itu kuungkapkan secara terbuka di koran (duh, nekadnya diriku ketika itu).
Boleh jadi, saking jengkelnya ada sastrawan Kalsel yang menulis puisi khusus dengan ungkapan sebagai berikut.
Kau tambal kau sulam
Baju kawan-kawan
Bajumu sendiri
sudah kau apakan?
Seingatku aku pernah menulis sejumlah catatan atas puisi-puisi ESWS. Namun, khusus untuk puisi-puisi ESWS isi tulisanku tak ada yang negatif.
Peristiwa lain yang masih kuingat, suatu ketika ESWS membeli hampir semua buku sastra koleksiku. Inilah, kali pertama aku menjual buku-buku sastra koleksiku.
Aku katakan pertama kali, karena sesudah itu aku masih sering menjual koleksi buku-buku sastraku kepada berapa orang sastrawan Kalsel lainnya.
Bukan apa-apa, aku sering kesulitan mengurus koleksi buku-buku sastra dimaksud. Selain tempat tinggalku yang begitu sempit (cuma sebuah kamar kost), juga aku sering pindah-pindah rumah.
Tidak berapa lama terbetik berita ESWS pindah tugas ke Kotabaru. Setelah itu, aku dan ESWS jarang bertemu.
21 Juni 1981, berdirilah Himpunan Penyair Muda Banjarmasin (HPMB). Ketika itu Tarman Effendi Tarsyad dipilih sebagai Ketua, Micky Hidayat sebagai Wakil Ketua, aku sebagai Sekretaris, dan Sri Supeni alm sebagai Bendaharawan.
Tidak lama kemudian, yakni 18-19 September 1982, HPMB menggelar acara Forum Penyair Muda Delapan Kota Kalsel bertempat di Balai Wartawan Banjarmasin. Panitia pelaksana forum ini diketuai oleh Micky Hidayat. Sesuai dengan tempat domisilinya, ESWS ketika itu tampil di forum sebagai wakil Kotabaru.
Setelah itu, aku dan ESWS lama tak saling bertemu. Sayang sekali, ketika ESWS dan kawan-kawan menyelenggarakan Aruh Sastra, aku tak bisa datang ke Kotabaru.
Tahun 2009, aku berkesempatan datang ke Kotabaru memenuhi undangan ceramah sastra di hadapan siswa-siswi SMKN I Kotabaru. Beruntunglah, kali ini aku bisa bertemu ESWS.
Meskipun tinggal berjauhan, aku masih bisa mengikuti perkembangan kepenyairan ESWS. ESWS merupakan salah satu sastrawan Kalsel generasi 1980-1989 yang hingga sekarang ini masih tetap konsisten mempertahankan gairah kepenyairannya.
Terakhir aku mendapat kiriman bukunya berjudul Di Batas Laut. Isi buku ini kemudian kuulas dalam salah satu tulisan yang dimuat di SKH Kalimantan Pos Banjarmasin.
Salah seorang mahasiswa PBSID STKIP PGRI Banjarmasin tertarik untuk menulis skripsi tentang metafora laut berdasarkan buku yang ada padaku itu.
Ketika M, Rifani Djamhari meninggal dunia, ESWS kebetulan sedang berada di Banjarmasin. Aku dan ESWS bertemu di rumah duka.
“Habis ini siapa kira-kira yang dipanggil-Nya. Din?”
“Aku berharap bukan aku, Ko. Jika boleh meminta aku ingin dipanggil paling akhir.”
“Mengapa begitu, Din.”
“Di antara kita sesama sastrawan Kalsel generasi 1980-1989, cuma aku yang mengambil peran sebagai penulis buku Sejarah Lokal Kesusastraan Indonesia di Kalsel, maka wajar jika aku dipanggil-Nya paling akhir. Jika aku dipanggil duluan, maka penulisan buku dimaksud akan terbengkalai.”
“Hahaha, bisa aje.”
“Insya Allah do’aku terkabul.
“Amin”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar