Kamis, 20 Januari 2011

SIMBIOSIS MUTULIS ANTARA SASTRAWAN KALSEL DAN PARA PEMILIK KIOS KORAN DI BANJARMASIN

Ketika fenomena sastra koran masih menggejala sekitar tiga puluh tahun yang lalu, para sastrawan Kalsel telah dikondisikan sedemikian rupa untuk selalu dekat dengan koran.
Kehidupan keseharian para sastrawan ketika itu (tahun 1980-an)begitu tergantung pada koran, baik dalam konteksnya sebagai tempat untuk memublikasikan karya sastranya atau sebagai tempatnya untuk mencari nafkah tambahan.
Para sastrawan harus membeli beberapa koran yang berbeda pada setiap hari Minggu, karena hampir semua koran terbitan lokal (kota-kota besar di berbagai daerah) dan nasional (Jakarta) membuka rubrik sastra pada setiap hari Minggu, terutama sekali rubrik cerpen.
Dulu, di tahun 1980-1989, para sastrawan harus membeli koran yang berbeda-beda pada hari-hari yang juga berbeda. Hari Selasa membeli SKH Berita Buana Jakarta untuk memantau rubrik Dialog Sastra budaya yang diasuh oleh Abdul Hadi WM. Hari Rabu membeli SKH Pelita Jakarta untuk memantau rubrik Seni Budaya yang diasuh oleh HS Djurtatap.
Selanjutnya, hari Sabtu membeli SKH Suara Karya Jakarta untuk memantau rubrik Pendakian yang diasuh oleh Susiana K. Darmawi, dan SKH Terbit Jakarta untuk memantau rubrik yang diasuh oleh Nurinwa Ki S. Herndrowinoto. Hari Minggu membeli SKH Merdeka Jakarta untuk memantau rubrik Seni Budaya yang diasuh oleh Neta S’Pane, dan SKM Swadesi Jakarta untuk memantau rubrik Arena Budaya yang diasuh oleh Mbak Diah Hadaning.

Dulu, di tahun 1980-1989, koran-koran hanya dijual di kios-kios yang ada di pasar koran saja, tidak seperti sekarang kios koran ada di mana-mana, di sepanjang tepi jalan raya atau di hampir setiap mulut gang. Para sastrawan dengan sendirinya harus meluangkan waktunya untuk datang ke pasar koran pada hari-hari yang telah saya sebutkan di atas.
Situasi dan kondisi dimaksud kemudian menimbulkan fenomena di mana para sastrawan kemudian menjalin persahabatan dengan para pemilik kios koran di sekitar tempat tinggalnya masing-masing. Persahabatan terjadi karena para sastrawan dimaksud telah menjadi langganan tetap yang potensial bagi para pemilik kios koran.
Di kota Banjarmasin, pasar koran mula-mula berlokasi di sepanjang Jalan Hasanuddin HM (di seberang bekas gedung bioskop Ria). Kemudian pindah ke dekat bundaran air mancur Hasanuddin HM. Ada 4 kios koran yang menjadi tempat berkumpulnya para sastrawan Kalsel, yakni Kios Thambrin, Stand 13 Ian Arbi, Stand 14 Ipriyadi, dan Stand 15 Syaiful Alam.
Kedudukan pasar koran pada kurun waktu 1980-1989, boleh jadi sama pentingnya dengan kedudukan Pasar Senen bagi para seniman Jakarta di era 1950-1959 sebagaimana yang digambarkan oleh Misbach Jusa Biran dalam kumpulan cerpennya Keajaiban di Pasar Senen (PT Pustaka Jaya Jakarta, 1971).
Selain merupakan tempat untuk memantau publikasi karya sastranya, pasar koran Banjarmasin telah menjadi tempat diskusi sastra tidak resmi bagi sastrawan Banjarmasin. Di tempat inilah mereka saling berdebat membahas isu-isu mutakhir di seputar dunia sastra yang mereka geluti.
Tidak jarang diskusi sastra tidak resmi ini berlanjut sampai ke rumah saya di bilangan Jalan Kacapiring VII (Kompleks Mawar) atau ke rumah Micky Hidayat di bilangan Jalan Cempaka XI. Dari pasar koran kami jalan kaki sejauh 2 kilometer sambil berdiskusi menuju ke rumah yang dituju.
Pada zamannya, pasar koran pernah menjadi tempat berkumpul yang paling ideal bagi sastrawan Banjarmasin. Posisinya sangat strategis karena hampir semua taksi kota yang datang dari arah Barat dan Utara kota Banjarmasin pasti melewati pasar koran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar