Minggu, 12 Desember 2010

PROBLEMA PENEGAKKAN EKSISTENSI SASTRA BANJAR

KHASANAH SASTRA BANJAR
Etnis Banjar di Kalsel memang tidak memiliki sistem aksara sendiri, tetapi mereka sudah mengenal sistem aksara Arab setidak-tidaknya sejak tahun 1526. Meskipun demikian tidak banyak ditemukan peninggalan-peninggalan dalam bentuk informasi yang dituliskan dengan huruf Arab pada batu, kayu, daun, logam, dan kertas. Hikayat Banjar boleh jadi merupakan karya sastra berbahasa Banjar pertama yang dituliskan orang di Tanah Banjar. Menurut JJ Ras (1968:181) Hikayat Banjar selesai ditulis pada tahun 1728.
Langkanya peninggalan lama berupa karya sastra berbahasa Banjar yang dituliskan dalam bentuk buku-buku merupakan petunjuk bahwa para sastrawan Banjar sezaman lebih senang menjalani profesinya secara oralitas (sastrawan lisan) bukan secara literalitas (sastrawan tulis). Karya sastra berbentuk andi-andi, bacaan, dongeng Banjar, hikayat Banjar, kisah Banjar, lamut, legenda Banjar, madihin, mitologi Banjar, pandung, pantun, paribasa, syair, dan surat tarasul (surat cinta berbentuk puisi) langsung mereka bacakan di depan forum dengan mengandalkan kemampuan mereka dalam menghapal dan mengolah rangkaian kosa-kata dengan sistem formulaik yang dikuasainya. Apalagi terhadap karya sastra berbentuk bacaan (mantra Banjar), karya sastra semacam ini sangat tinggi kerahasiaannya sehingga sangat tabu diperbanyak dalam bentuk buku seperti halnya karya sastra Banjar lainnya.
Meskipun tidak sepenuhnya ditulis dalam bahasa Banjar, namun karena di dalamnya ditemukan kosa-kata bahasa Banjar yang relatif banyak maka sejumlah syair klasik yang ditulis pada zaman dahulu kala dapat dimasukan ke dalam khasanah sastra Banjar. Syair-syair klasik berbahasa Banjar dimaksud antara lain : Syair Ibarat dan Khabar Hari Kiamat (Abdurrahman Sidik Al Banjari Tembilahan), Syair Brahma Sahdan (Gusti Ali Basyah Barabai), Syair Ganda Kasuma (Haji Pangeran Musa Martapura), Syair Mayat (Haji Pangeran Musa Martapura), Syair Roko Amberi (Kiai Mas Ahmad Dipura Martapura), Syair Tajul Muluk (Kiai Mas Ahmad Dipura Martapura), Syair Ringgit (Hajjah Umi Barabai), Syair Siti Zubaidah (Anang Ismail Kandangan), Syair Tija Diwa (Anang Mayur Babirik), Syair Nagananti (Anang Mayur Bairik), Syair Madi Kancana (Gusti Ali Basyah Barabai), Syair Abdul Muluk (Kiai Mas Ahmad Dipura Martapura), Syair Nur Muhammad (Gusti Zainal Marabahan), Syair Ratu Kuripan, Syair Gunung Sari, Syair Perang Banjarmasin, Syair Carang Kulina, Syair Perang Wangkang, Syair Hemop, Syair Perahu, Syair Burung Jujuk, dan Syair Burung Karuang.
Kegiatan pelisanan dan penulisan andi-andi, bacaan, lamut, pandung, syair, dan surat tarasul pada kurun waktu 1980-2009 ini sudah relatif jarang dilakukan orang sekarang ini. Ada 3 bentuk karya sastra Banjar yang masih agak sering dilisankan orang, yakni madihin, pantun, dan paribasa. Kesenian madihin masih sering dipertunjukan orang dengan tokohnya yang paling populer Jon Tralala dan anaknya Hendra. Sementara kegiatan bertukar pantun masih sering dilakukan sebagai bagian dalam tradisi maatar patalian (mengantar barang pinengset untuk calon mempelai wanita). Sementara itu, paribasa (yang dimaksud dalam tulisan ini adalah paribasa yang berbasis puisi, yakni paribasa yang mengandung kosa-kata perulangan) masih sering dilisankan orang dalam percakapan-percakapan informal dan masih sering pula dikutip orang dalam sejumlah tulisan yang dipublikasikan untuk umum.
Namun, yang sangat menggembirakan adalah kegiatan penulisan cerita rakyat berbahasa Banjar dalam bentuk mitologi, legenda, hikayat, kisah, dan dongeng, hingga sekarang masih tetap semarak. Penyebabnya terletak pada bentuk fisik cerita rakyat berbahasa Banjar yang tak jauh berbeda dengan bentuk fisik cerpen modern berbahasa Indonesia. Tokoh penulisnya yang paling produktif di bidang ini Bapak Drs. H. Syamsiar Seman, puluhan judul buku beliau yang berisi 5-10 buah cerita rakyat berbahasa Banjar sedang merajai pasaran buku sastra Banjar sekarang ini.
Masih ada satu fenonema lagi yang juga sangat menggembirakan, yakni digemarinya cerita humor berbahasa Banjar Si Palui yang dimuat secara lepas sejak tanggal 2 Agustus 1971 di SKH Banjarmasin Post. Tidak diketahui dengan pasti berapa ribu judul jumlahnya yang sudah dimuat, tapi jika setiap tahun dimuat rata-rata sekitar 200 judul saja, maka selama kurun waktu 35 tahun telah dimuat tidak kurang dari 7.000 judul. Mula-mula rubrik yang sangat digemari pembaca ini diisi oleh Drs. H. Yustan Aziddin (alm) (1971-1990), kemudian diisi oleh Mas Abikarsa (alm) (1990-1995), dan selanjutnya diisi oleh M. Hoesni Thamrin (alm)(1995-2005).
Sepeninggal mereka bertiga, rubrik ini masih tetap dipertahankan, namun saya lihat cuma diisi dengan cerita-cerita reproduksi saja (memuat ulang cerita yang sudah pernah dimuat). Tapi ini bukan berarti tidak ada penulis lain yang mampu menulis cerita berbahasa Banjar Si Palui, terbukti jumlah peserta yang mengikuti Sayembara Penulisan Cerita Si Palui yang digelar SKH Banjarmasin Post beberapa waktu yang lalu sangatlah banyak (lebih dari 500 judul)(SKH Banjarmasin Post, 1 Agustus 2006, hal 24).
Karya sastra berbahasa Banjar yang banyak ditulis orang pada kurun waktu 1980-2008 ini pada umumnya merujuk kepada karya sastra berbentuk modern seperti puisi, dan cerpen. Sedangkan karya sastra yang berbentuk roman/novel cuma 1 buah, yakni Bulan Sunyi Kambang Tarati (Burhanuddin Soebely, cerber di SKH Radar Banjarmasin, 2005). Para penulis karya sastra berbahasa Banjar pada kurun waktu 1980-2009 pada umumnya berasal dari kalangan sastrawan Kalsel sendiri, baik yang berdarah Banjar, maupun yang berdarah suku bangsa lainnya.
Sekadar mengungkapkan sejumlah fakta. Di bidang penulisan puisi, telah diterbitkan sejumlah antologi puisi bersama, antara lain : Baturai Sanja (Eza Thabry Husano, Hamamy Adaby, dan Arsyad Indradi, 2004), Garunum (Hamamy Adaby dkk, 2006), dan Kaduluran (Hamamy Adaby, 2006, antologi puisi pribadi). Sementara itu di bidang penulisan cerpen telah terbit 2 judul antologi kisah handap (kisdap), yakni : Galuh (Jamal T. Suryanata, Penerbit Radar Banjarmasin Press, Banjarmasin, 2005) dan Maundak Dandang (M. Fitran Salam, Penerbit Swa Kelola Satu Warna Press, Banjarbaru, 2006).
Cerpen berbahasa Banjar yang belum dibukukan secara refresentatif sangat banyak jumlahnya, antara lain : Lawang (A. Rasyidi Umar), Pitua (A. Rasyidi Umar), Latupan Cabi (Abdus Syukur MH), Tambus Nang Manyamani (Abdus Syukur MH), (3) Tihang Bamata Malingan (Aria Patrajaya), Aluh Campaka (Bachtiar Sanderta), Jabakan Kopi Kamandrah (Bachtiar Sanderta), Kai Iyus (Bachtiar Sanderta), Pitua Ma Haji Banjar (Bachtiar Sanderta), Tuli Sarumahan (Bachtiar Sanderta), Rak Rak Gui (Burhanuddin Soebely), Luka Nang Kada Sing Baikan (Hijaz Yamani), Amun Tambus Hanyar Kawin (Ian Emti), Malam Kumpai Batu (M. Rifani Djamhari), Batandu (Noor Aini Cahya Khairani), Kambang Pambarian (Sabrie Hermantedo), Uma Ulun Nang Bungas (Tajuddin Noor Ganie), dan Utuh Abut wan Tadung Kutung (Tajuddin Noor Ganie).

PROBLEMA PENEGAKAN EKSISTENSI SASTRA BANJAR
Bila dihitung berdasarkan kurun waktunya (1728-2009), kegiatan penulisan karya sastra berbahasa Banjar tidaklah mengembirakan secara kuantitatif, mestinya, selama kurun waktu 281 tahun, telah ditulis tidak kurang dari 2.372 judul buku, itupun dengan asumsi yang sangat tidak produktif, yakni cuma 1 judul buku per satu bulan. Fakta ini menunjukan adanya problema tertentu dalam upaya menegakkan eksistensi sastra Banjar di Tanah Banjar.
Jamal T. Suryanata (dalam Jarkasi dan Hernawan, 2006:85) berpendapat setidak-tidaknya ada 4 persoalan yang dihadapi sastra Banjar, yakni : (1) pengarang, (2) pembaca, (3) media penerbitan, dan (4) kritik sastra.

Problema Dari Sisi Sastrawan Banjar
Problema yang dihadapi sastra Banjar dari sisi pengarangnya, antara lain belum dikuasainya teknis penulisan karya sastra berbahasa Banjar oleh mayoritas sastrawan Kalsel sendiri. Terbukti dari jumlah 307 sastrawan Kalsel yang terdaftar dalam buku Sketsa sastrawan Kalimantan Selatan (Jarkasi dan Ganie, 2001), sekitar 40 orang saja yang pernah menulis karya sastra berbahasa Banjar. Padahal, para sastrawan Kalsel yang tinggal di Tanah Banjar inilah yang mestinya paling banyak menguasai jurus-jurus penulisan karya sastra berbahasa Banjar, karena mereka secara demografis tinggal di pusat kebudayaan Banjar.
Memang, tidak semua sastrawan Kalsel, termasuk yang berdarah Banjar sekalipun, yang mampu bolak-balik dalam menulis karya sastra, sekali waktu menulis karya sastra berbahasa Indonesia dan pada kali yang lain menulis karya sastra berbahasa Banjar. Jamal T. Suryanata (Jarkasi dan Hernawan, 2006:36) memuji A. Rasyidi Umar, Bachtiar Sanderta, M. Rifani Djamhari, YS Agus Suseno, dan M. Fitran Salam sebagai sastrawan Kalsel (Indonesia) yang mampu melakukan proses kreatif bolak-balik dalam penulisan karya sastra berbahasa Indonesia dan Banjar.
Penulisan karya sastra berbahasa Banjar memang tidak dapat dilakukan dengan menerapkan teknik alih bahasa atau alih kode dengan cara menerjemahkan karya sastra berbahasa Indonesia (atau bahasa lainnya). Hal ini mengingat, struktur konsep berpikir dalam bahasa Indonesia sama sekali berbeda secara alamiah dengan struktur konsep berpikir dalam bahasa Banjar. YS Agus Suseno seorang sastrawan Kalsel yang terkenal piawai menulis cerpen-cerpen Banjar modern bahkan menabukan teknik alih bahasa dan alih kode semacam itu dalam proses kreatif penulisan cerpen Banjar modern.
Berkaitan dengan problema yang dihadapi para sastrawan dalam konteks proses kreatif penulisan karya sastra berbahasa Banjar ini, Jamal T. Suryanata (Jarkasi dan Hernawan (2006:28-29) memberikan 5 kiat sukses, yakni :


(1) Meningkatkan kemampuan pribadi dalam mempergunakan bahasa Banjar sebagai media komunikasi yang alami, karena karya sastra berbahasa Banjar yang tinggi mutunya sangat ditentukan oleh kemampuan sastrawannya mempergunakan bahasa Banjar sebagai media komunikasi yang alami, setidak-tidaknya dalam komunikasi pasif melalui tulisan.
(2) Meningkatkan kemampuan pribadi dalam menguasai kerangka berpikir menurut konsep berpikir yang berlaku dalam bahasa Banjar. Hal ini mengingat, bahasa Banjar juga memiliki seperangkat idiom atau ungkapan lokal yang khas yang tidak dapat diterjemahkan atau diekspresikan dengan tepat ke dalam bahasa lainnya.
(3) Meningkatkan kemampuan pribadi dalam menguasai kosa-kata bahasa Banjar berikut jangkuan semantis untuk setiap kosa-kata bahasa Banjar itu sendiri. Kemampuan pribadi ini dapat diasah melalui pengalaman lingistik dalam pergaulan sehari-hari atau melalui kegiatan pembacaan atas Kamus Banjar Indonesia karangan Abdul Djebar Hapip.
(4) Meningkat kemampuan pribadi dalam menguasai pengetahuan tentang tradisi lokal yang khas etnis Banjar, baik dengan cara bergaul langsung ke tengah-tengah masyarakat atau melalui proses pembacaan buku-buku yang berisi paparan menyangkut tema dimaksud. Pengetahuan tentang tradisi lokal yang khas etnis Banjar ini sangat membantu sastrawan yang bersangkutan dalam menggambarkan warna lokal budaya Banjar secara lebih alami dan meyakinkan yang dalam karya sastra berbahasa Banjar yang ditulisnya.



(5) Meningkatkan pengetahuan tentang teknik-teknik penulisan karya sastra modern dengan cara mempelajari buku-buku teori penulisan karya sastra, kritik sastra, dan mempelajari karya sastra hasil karya para sastrawan lain.

Problema Dari Sisi Pembaca
Karya Sastra Berbahasa Banjar
Burhanuddin Soebely (Jarkasi dan Hernawan, 2006:119) bersaksi bahwa pada saat berlangsungnya sessi tanya jawab peluncuran antologi cerpen berbahasa Banjar (kisdap) Galuh karangan Jamal T. Suryanata, seorang pelajar SMA dengan polos mengatakan bahwa ia kurang dapat mengapresiasi kisdap-kisdap yang dimuat di dalam Galuh karena bahasa Banjar yang dipakai banyak yang tidak dimengerti. Dia kemudian memberikan solusi agar kisdap-kisdap itu diterjemahkan saja ke dalam bahasa Indonesia. Pokok soal kasus ini bukanlah keengganan mengapresiasi, melainkan pada bahasa. Logikanya, jika sastra Banjar diperkenalkan secara dini dan intensif, atau langkah programatis lainnya, maka jembatan apresiasi akan menjadikan sastra Banjar berumur panjang
Selain itu, dalam lingkup sosial yang lebih luas kasus ini merupakan petunjuk bahwa bahasa Banjar merupakan bahasa yang kurang begitu banyak dipergunakan di kalangan generasi penerus di Tanah Banjar yang notabene berstatus sebagai pusat kebudayaan Banjar di dunia ini. Jumlah kosa-kata bahasa Banjar yang dikuasai oleh masyarakat pembaca karya sastra di tingkat generasi penerus ini masih sangat kurang. Ini berarti harus ada upaya bersama atau semacam strategi budaya untuk menciptakan situasi kondusif yang memungkinkan bahasa Banjar tetap dipergunakan sebagai bahasa pergaulan yang fungsional di Tanah Banjar.
Sastra Banjar di masa depan akan menghadapi masa-masa kekurangan pembaca jika semakin hari semakin sedikit saja generasi penerus di Tanah Banjar ini yang dapat mengerti bahasa Banjar. Padahal, sastra Banjar membutuhkan khalayak pembaca, tanpa khalayak pembaca yang memadai, sastra Banjar tidak akan dapat dimaknai secara sewajarnya bagaimana mestinya.
Berkaitan dengan jumlah pembaca yang relatif minim, sementara tingkat kesulitan dalam menuliskannya yang juga relatif tinggi, maka bukanlah hal yang kebetulan jika para sastrawan Kalsel yang tinggal di pusat kebudayaan Banjar ini sendiri lebih suka atau lebih tergoda untuk memilih menulis karya sastra dalam bahasa Indonesia dari pada dalam bahasa Banjar.
Menurut Burhanuddin Soebely (Jarkasi dan Hernawan, 2006:100), menulis dalam bahasa Indonesia, selain dorongan dari dalam juga merupakan pilihan politis dan pilihan ekonomis. Pilihan politis, karena di situ merupakan wahana pengembangan bakat dan penegasan eksistensi dalam jagat Indonesia, sebab ternyata sastra nasional bukanlah puncak-puncak sastra daerah. Pilihan ekonomis, karena di situ terbuka banyak ruang untuk memuat karya dan mendapatkan konpensasi atawa honorarium. Sementara menulis dalam bahasa Banjar lebih pada pilihan historis dan pilihan kultural emosional agar tidak kehilangan akar sejarah.

Problema Dari Sisi Media Penerbitan
Karya Sastra Berbahasa Banjar
Bahasa Banjar tidak pernah menjadi bahasa pergaulan yang fungsional di tingkat koran/majalah. Sejak awal dimulainya sejarah penerbitan surat kabar di Kalsel pada tahun 1930, tidak pernah ada koran/majalah berbahasa Banjar. Beda misalnya dengan yang terjadi di Tanah Jawa atau Tatar Sunda, sampai sekarang masih ada koran.majalah berbahasa Jawa atau Sunda. Koran/majalah berbahasa Jawa dan Sunda inilah yang menjadi tempat publikasi utama karya sastra berbahasa Jawa dan Sunda.
Fakta ini menunjukan sastra Banjar sampai sekarang masih belum memiliki rumah yang nyaman di tingkat koran/majalah. Kecuali cerita Si Palui yang sejak tahun 1971 sudah menempati rumah tinggal yang nyaman di SKH Banjarmasin Post, karya sastra Banjar lainnya masih harus disibukan oleh urusan mencari rumah tumpangan di berbagai koran/majalah yang terbit di Kalsel. Untunglah, sekarang ini masih ada SKH Radar Banjarmasin yang berkenan memberi tempat singgah bagi karya sastra berbahasa Banjar, jika tidak, ke mana lagi para sastrawan Banjar mempublikasikan karya sastranya (ke laut?).
Belum adanya koran/majalah yang sepenuhnya berbahasa Banjar membuat para sastrawan Kalsel lebih suka menulis dalam bahasa Indonesia. Karya sastra dalam bahasa Indonesia dapat dikirim ke mana saja ke seluruh Indonesia, bahkan juga ke Malaysia dan Brunei Darussalam. Bila nasib baik, karya sastra karangan mereka dimuat di berbagai koran/majalah terkemuka terbitan ibukota, dan selanjutnya karya sastranya dibicarakan dan dipuji oleh para kritikus sastra terkemuka.
Tidak hanya itu, seiring dengan semakin tingginya reputasi kesastrawanannya, para penerbit berlomba-lomba untuk menerbitkan buku karya sastranya yang memang laku keras di pasaran, para penyelenggara forum sastra di tingkat nasional silih berganti mengundang kehadirannya, nama dan biografinya ikut dimuat dalam ensiklopedi sastra, buku pintar sastra, buku sejarah sastra, dan buku karya sastra karangannya diajarkan di sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Peluang untuk meraih reputasi semacam itu tidak mungkin dapat diraihnya melalui jalur penulisan karya sastra berbahasa Banjar.
Karya sastra berbahasa Banjar dapat saja disebar-luaskan dalam bentuk buku seperti yang dilakukan oleh Jamal T. Suryanata dan M. Fitran Salam. Tapi risikonya besar sekali, modal besar yang ditanamkan untuk menerbitkan buku semacam itu belum tentu kembali dalam tempo setahun atau dua tahun. Para penerbit buku yang profit bisnis tentunya harus berpikir beberapa kali jika ingin menerbitkan buku-buku sastra berbahasa Banjar. Sampai sejauh ini, menulis karya sastra berbahasa Banjar masih merupakan proyek idealis yang identik dengan kerugian material.
Sungguh, tidak pada tempatnya jika risiko kerugian material semacam itu masih harus ditanggung lagi oleh para sastrawan Banjar. Bayangkan, ketika masih dalam proses kreatif penulisannya tempo hari, sastrawan Banjar yang bersangkutan sesungguhnya sudah mengorbankan waktu istirahatnya, waktunya untuk bercengkrama dengan anak-anak dan istrinya-istrinya (sebanyak 4 orang, hehehe), dan bahkan juga mengorbankan waktunya untuk mencari nafkah bagi keluarganya. Tetapi begitu selesai ditulis karya sastra berbahasa Banjar itu terpaksa dibukukan dengan biaya yang harus dikeluarkan dari kantong pribadi sastrawan Banjar yang bersangkutan.
Mungkin sudah waktunya di Tanah Banjar ini ada semacam lembaga patron yang berani mengambil alih risiko kerugian material berkaitan dengan penerbitan karya sastra berbahasa Banjar. Patron di sini bisa pemerintah daerah, bisa Dewan Kesenian Daerah, bisa Lembaga Budaya Banjar, bisa lembaga nirlaba kesusastraan Banjar, dan bisa pula perorangan yang banyak memiliki uang berlebih.

Problema Dari Sisi Kritik Sastra
Terhadap Karya Sastra Berbahasa Banjar
Tradisi kritik sastra terhadap karya sastra berbahasa Banjar belum terbentuk sebagaimana mestinya di Tanah Banjar. Puluhan atau bahkan ratusan karya sastra berbahasa Banjar yang sudah dipublikasikan di berbagai koran/majalah dan buku-buku sastra sampai sekarang ini belum pernah terkena sentuhan kritik para kritikus sastra. Sampai sejauh ini, karya kritik sastra semacam ini hanya ditulis oleh Jarkasi, M. Yusransyah, Tajuddin Noor Ganie, dean Sainul Hermawan saja. Kegiatan penulisan kritik sastra terhadap sastra Banjar di berbagai koran/majalah terbitan kota Banjarmasin tampaknya masih harus semakin digiatkan lagi.
Fakta yang sama juga terjadi di bidang penerbitan buku teks dan kritik sastra terhadap sastra Banjar. Berikut ini adalah judul buku berkenaan dengan sastra Banjar yang saya ketahui : Sastra Lisan Banjar (Sunarti dkk, 1978), Pantun Banjar (Jarkasi, 1996), Struktur Mamanda (Jarkasi, 19976, Struktur Sastra Lisan Madihin (Jarkasi, 1997), Kajian Prosa Fiksi Drama (Jarkasi, 1999), Kajian Seni Karakter Tokoh Tokoh Idaman Dalam Cerpen Banjar Modern (Jarkasi dan Djantera Kawi, 2000), Struktur Lamut (Jarkasi, 2000), Retorika Pantun Dalam Sistem Kritik Masyarakat Banjar (Jarkasi, 2001), dan Mamanda : Dari Realitas Tradisional ke Kesenian Populer (Jarkasi, 2002).
Untunglah, para dosen yang menjadi membimbing penulisan skripsi di berbagai lembaga PTN/PTS di Banjarmasin tidak pernah bosan-bosannya menyarankan agar para mahasiswanya menulis skripsi tentang sastra Banjar. Jika tidak, maka tradisi kritik sastra akademik di PTN/PTS akan sama gersangnya dengan tradisi penulisan kritik sastra di berbagai koran/majalah terbitan Banjarmasin.
Berikut ini adalah daftar skripsi tentang sastra Banjar yang tersimpan di Perpustakaan STKIP PGRI Banjarmasin yang sempat dicatat data-datanya oleh para mahasiswa yang saya tugaskan untuk itu (saya ucapkan terima kasih yang tulus untuk mereka semua), yakni (1) Analisis Struktur Sastra Cerpen Aluh Campaka (Radiana, 1992), (2) Analisis Unsur Magis Dalam Cerpen Lawang Karya A. Rasyidi Umar (Masliani, 1999), (3) Nilai Nilai Didaktis Dalam Cerpen Karindangan Karya Seroja Murni (Warnidah, 1999), (4) Peranan Peribahasa Banjar Sebagai Salah Satu Bentuk Karya Sastra Lama Dalam Pengajaran Sastra di SLTP (Masnah, 1999), (5) Unsur Pendidikan Dalam Cerpen Banjar (Farida, 1999), (6) Analisis Pendidikan Dalam Mamanda Lentera Hati Karya Jaka Mustika (Rahmaniyati, 1999), (7) Nilai Budaya Dalam Peribahasa Banjar, (Ruswatina, 1999), (9) Unsur Sosial Budaya Dalam Cerpen Banjar (Fahriansyah, 1999), dan (10) Unsur Pendidikan Dalam Cerpen Banjar (Muslimah Murni, 1999).
Selanjutnya, (11) Aspek Aspek Sosial Kejiwaan dalam Cerita Pendek Racun Karya YS Agus Suseno (Siti Mulyani, 1999), (12) Nilai Budaya Dalam Cerpen Cerpen Banjar (Muslinawati Hana, 2000), (13) Unsur Religi Dalam Cerpen Bau Harum Matan Surga Karya Ahmad Fahrawi (Norol Hayati, 2000), (14) Nilai Pendidikan Dalam Cerpen Cerpen Banjar (Janiah, 2000), (15) Perbandingan Aspek Humor Dalam Cerpen Amun Tambus Hanyar Kawin dengan Si Jek Siup (Maryani, 2000), (16) Analisis Struktur Cerpen Racun Karya YS Agus Suseno (Maryani, 2000), (17) Unsur Humor dalam Cerpen bahasa Banjar Aluh Campaka Karya Bachtiar Sanderta (Maya, 2000), (18) Tokoh Wanita Idaman Dalam Cerpen Cerpen Banjar (Supriyono, 2000), (19) Aspek Humor dalam Telaah Sastra Lisan Madihin (Hermani Yusuf, 2003), dan (20) Penggunaan Bahasa Banjar dalam Cerita si Palui pada Surat Kabar Banjarmasin Post (Norhamisah, 2004).
Selanjutnya lagi, (21) Unsur Pendidikan dalam Pantun Banjar untuk Baantaran dalam Adat Orang Banjar (Rusmiati, 2004), (22) Peran Kesenian Tradisional Madihin Bagi Masyarakat Banjar (Fahrida Noor, 2004), (23) Konflik Internal Antara Tokoh Tokoh-tokoh dalam Cerpen Banjar (Mirajiah, 2004), (24) Nilai Moral dalam Pantun Banjar (Riwandi, 2005), (25) Nilai Sosial Budaya dalam Naskah Japin Carita Iluk si Walut Putih Karya YS Agus Suseno (Murni SB, 2006), (26), Kajian Aspek Moral dalam Kumpulan Kisdap Karya Jamal T. Suryanata (Henny Armilawati, 2006), (27) Pendeskripsian Tokoh-tokoh Pigura dalam Cerpen Banjar (A. Gazali Rahman, 2006), (28) Nilai-nilai Relegius dalam Kumpulan Cerita Datu-datu Banjar Karya Fahrurraji Asmuni (Muhammad Sadiq, 2007), (29) Peran Moral dalam Pantun Banjar (Risnawati, 2007), dan (30) Kajian Semiotik Tokoh Putri Junjung Buih dalam Hikayat Banjar (Ansariansyah, 2007), (31) Profil Tokoh Protagonis dan Antagonis dalam Cerpen Banjar Kalimantan Selatan (Farah Mutia, 2008), dan (32) Analisis Pesan Moral dalam Syair Kesenian Madihin Karya Syamsiar Seman (Dini Amelia, 2008). .






BAHAN RUJUKAN
Ganie, Tajuddin Noor. 1998. Sejarah Lokal Kesusastraan Indonesia di Kalimantan Selatan. Banjarmasin : Penerbit Pusat Pengkajian Masalah Sastra (PUSKAJIMASTRA) Kalimantan Selatan, Cetakan I.
Jarkasi dan Sainul Hernawan. 2006. Sastra Banjar Kontekstual. Banjarmasin : Penerbit IRCiSoD Yogyakarta, FKIP Unlam Press Banjarmasin, dan Forum Kajian Budaya Banjar Banjarmasin, Cetakan I.
Jarkasi dan Djantera Kawi. 2000. Kajian Seni : Karakter Tokoh-Tokoh Idaman Cerpen Banjar Modern. Banjarmasin : Dewan Kesenian Daerah Kalimantan Selatan dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kalsel, Cetakan I.
Taman Budaya Kalsel. 2004. Kompilasi Naskah Cerpen Banjar. Banjarmasin : Taman Budaya Kalsel, Cetakan I.

















Pers Release
EKSISTENSI SASTRA BANJAR
TIDAK MUDAH DITEGAKAN

Sastrawan Indonesia yang berbahasa ibu bahasa Banjar tidak banyak yang tertarik menulis karya sastra berbahasa Banjar, akibatnya karya sastra berbahasa Banjar tetap menjadi karya sastra yang terpinggirkan dari zaman ke zaman. Idealnya, puisi, cerpen, novel dan esai sastra berbahasa Banjar menempati posisi yang hegemonik setidak-tidaknya di Kalsel, karena daerah Kalsel merupakan pusat kebudayaan Banjar di muka bumi ini. Keprihatinan di atas diungkapkan Tajuddin Noor Ganie ketika berbicara sebagai narasumber dalam seminar sastra bertajuk Eksistensi dan Kontribusi Sastra Banjar dalam mengungkap Budaya Lokal di Aula STKIP PGRI Banjarmasin, Sabtu
(6 Juni 2009) ybl.
Lebih jauh dikatakannya, dari 307 sastrawan yang berbahasa ibu bahasa Banjar, hanya 40 orang saja yang diketahuinya pernah menulis karya sastra berbahasa Banjar. Bagi mereka, menulis karya sastra berbahasa Banjar bukanlah pilihan yang strategis secara politis dan ekonomis. Selain lebih sulit ditulis, karya sastra berbahasa Banjar juga sulit dipublikasikan, karena di kota Banjarmasin tidak ada koran/majalah berbahasa Banjar. Akibatnya, tidak ada peluang bagi mereka untuk meraih penghasilan atau meraih reputasi melalui kegiatannya menulis karya sastra berbahasa Banjar. Karya sastra berbahasa Banjar hanya ditulis berdasarkan sintimen primordialistik, yakni keinginan untuk menegakan eksistensi sastra Banjar sejajar dengan sastra etnik lainnya di tanah air kita, seperti halnya sastra Jawa dan sastra Sunda.
Selain faktor dari sisi sastrawan, masih ada faktor lain yang membuat sastra Banjar menjadi sastra yang marjinal, yakni faktor pembaca, faktor media, dan faktor kritik sastra. Dari sisi pembaca, problemnya menurut Tajuddin Noor Ganie terletak pada fakta tidak semua kosa kata bahasa Banjar dikenal dengan baik (familiar) oleh para pembaca dari kalangan generasi muda di Kalsel. Dari sisi media, sampai sejauh ini belum ada koran/majalah berbahasa Banjar yang dapat dijadikan sebagai media publikasi yang handal untuk menyebarkan luaskan karya sastra berbahasa Banjar. Dari sisi kritik sastra, sampai sejauh ini belum terbina tradisi kritik sastra yang memadai terhadap karya sastra berbahasa Banjar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar