Minggu, 12 Desember 2010

MENGKRITISI LIMA DEFINISI SASTRA BANJAR YANG SUDAH DIWACANAKAN ORANG

Oleh Tajuddin Noor Ganie, M.Pd

Pada tanggal 10-13 Agustus 2000, di kota Banjarmasin berlangsung Musyawarah Besar Pembangunan Banua Banjar, salah satu hasilnya adalah rumusan tentang sastra Banjar yang berbunyi sebagai berikut : sastra Banjar adalah salah satu ciri sastra daerah yang hidup di Kalsel dengan ciri-ciri : (1) berbahasa Banjar, (2) bersifat lisan, (3) telah hidup dan berkembang selama 2 generasi, dan (4) berisi nilai-nilai lokal dan universal (Rumusan Komisi C Bidang Sosial Budaya).
Definisi sastra Banjar yang demikian itu sesungguhnya sudah menjadi semacam pengetahuan umum yang sering diulang-ulang dalam banyak publikasi. Semua ciri yang disebutkan dalam definisi sastra Banjar di atas merujuk kepada identifikasi sastra Banjar sebagai karya sastra klasik yang bersifat lisan, seperti : andi-andi, bacaan (mantra), bapandung (monolog), cerita rakyat (mitologi, legenda, hikayat, kisah, dongeng), japin carita (teater), lamut (prosa liris), madihin (puisi), mamanda (teater), pantun, syair, dan surat tarasul (surat cinta yang dimuati dengan puisi puja-puji untuk kekasih hati).
Topik mengenai sastra Banjar baru saja menjadi bahan perdebatan yang relatif hangat di SKH Radar Banjarmasin. Perdebatan berlangsung selama 6 bulan penuh, yakni pada bulan Juni sampai dengan Desember 2005. Mereka yang terlibat dalam perdebatan hangat dimaksud adalah para sastrawan dan akademisi terkemuka di daerah ini, yakni : Jamal T. Suryanata (7 judul tulisan), Sainul Hernawan (4), Jarkasi (3), Harie Insani Putra (1), Setia Budhi (1), Fatchul Muin (2), Burhanuddin Soebely (3), dan Tarman Effendi Tarsyad.(1). Semua tulisan dimaksud (22 judul), ditambah dengan Kata Pengantar (H. Rustam Effendi), Catatan Kritis (Prof. Dr. H. Djantera Kawi), Komentar (Agus R. Sardjono), Catatan Penyunting (Jarkasi dan Sainul Hernawan), dan Epilog (Syarifuddin R), telah diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Sastra Banjar Kontekstual (Penerbit IRCiSoD Yogyakarta, FKIP Unlam Press Banjarmasin, dan Forum Kajian Budaya Banjar Banjarmasin, 2006).
Perdebatan disulut oleh Sainul Hernawan yang tidak setuju dengan definisi sastra Banjar yang dirumuskan oleh Jamal T. Suryanata yang membatasi sastra Banjar pada karya sastra berbahasa Banjar saja. Sainul Hernawan (dalam Jarkasi dan Hernawan, 2006 : 34) berpendapat jika identitifikasi sastra Banjar yang demikian itu dipaksakan maka sastra Banjar akan menjadi rumah yang eksklusif dan ngalih banar dimasuki oleh karya sastra berorientasi sosiokultural Banjar dan ditulis oleh warga Banjar dalam bahasa Indonesia.
Secara garis besar para sastrawan dan akademisi yang terlibat dalam perdebatan dimaksud terpolarisasi ke dalam dua kubu utama, yakni : (1) kubu yang mengusung pendapat bahwa bahasa Banjar merupakan ciri mutlak yang harus ada dalam sastra Banjar, tanpa bahasa Banjar berarti bukan sastra Banjar, posisi bahasa Banjar tidak dapat digantikan oleh bahasa lain (Jamal T. Suryanata dkk), dan (2) kubu yang mengusung pendapat bahwa bahasa Banjar bukan merupakan ciri mutlak yang harus ada dalam sastra Banjar, sastra Banjar dapat saja ditulis dalam bahasa lain selain bahasa Banjar, posisi bahasa Banjar dapat saja digantikan oleh bahasa lain (Sainul Hernawan dkk).
Jika definisi sastra Banjar diibaratkan sebagai pintu masuk ke dalam rumah pustaka sastra Banjar, maka sesungguhnya pintu masuknya tidak cuma 2, tetapi setidak-tidak ada 5 pintu. Tidak setiap pintu dapat dimasuki begitu saja tanpa pssword sama sekali, karena setiap pintu memiliki ketentuan yang mengatur siapa saja sastrawan yang dapat memasukinya, dan siapa saja sastrawan yang tidak dapat memasukinya.
Lima pintu masuk atau definisi sastra Banjar yang saya maksudkan adalah sebagai berikut.
(1) Semua jenis karya sastra yang bercerita tentang etnis Banjar di Tanah Banjar (Kalsel) yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar oleh sastrawan yang berasal dari kalangan etnis Banjar yang lahir, tinggal, atau pernah tinggal di Tanah Banjar.
(2) Semua jenis karya sastra yang bercerita tentang etnis Banjar yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar oleh sastrawan yang berasal dari kalangan etnis Banjar.
(3) Semua jenis karya sastra yang bercerita tentang etnis Banjar yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar oleh siapa saja (tidak mesti oleh orang Banjar).
(4) Semua jenis karya sastra yang bercerita tentang apa saja (tidak mesti tentang etnis Banjar) yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar (bukan dalam bahasa lainnya) oleh siapa saja (tidak mesti oleh orang Banjar).
(5) Semua jenis karya sastra yang bercerita tentang etnis Banjar, dilisankan atau dituliskan oleh siapa saja (tidak mesti oleh orang Banjar), dan dalam bahasa apa saja (tidak mesti dalam bahasa Banjar).

PINTU KESATU
Semua jenis karya sastra yang bercerita tentang etnis Banjar di Tanah Banjar (Kalsel) yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar oleh sastrawan yang berasal dari kalangan etnis Banjar yang lahir, tinggal, atau pernah tinggal di Tanah Banjar.
Sastra Banjar menurut definisi di atas merujuk kepada tiga ciri, yakni : (1) bercerita tentang kehidupan keseharian etnis Banjar di Tanah Banjar (aspek sosio-kultural yang sudah ditentukan fokus dan lokusnya), (2) dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar (aspek bahasa), dan (3) sastrawan yang melisankan atau menuliskannya berasal dari kalangan etnis Banjar yang lahir, tinggal, atau pernah tinggal di Tanah Banjar (faktor etnisitas yang fokus dan lokusnya sudah ditentukan). Karya sastra yang tidak memenuhi semua ciri yang disyaratkan tidak boleh dimasukan ke dalam kelompok sastra Banjar.
Menurut Suryanata (2006:38) definisi sastra Banjar yang ideal adalah definisi sastra Banjar yang mengintegrasikan tiga pilar sekaligus, yakni : aspek bahasa, sosio-kultural, dan etnisitas pengarangnya. Definisi sastra Banjar yang ditempelkan pada pintu kesatu ini saya rumuskan dengan cara mengintegrasikan tiga pilar yang dimaksudkan Suryanata, yakni aspek bahasa (dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar), aspek sosio-kultural (bercerita tentang kehidupan keseharian etnis Banjar di Tanah Banjar), dan faktor etnisitas pengarangnya (sastrawan berdarah Banjar yang lahir, tinggal, atau pernah tinggal di Tanah Banjar).
Pintu kesatu ini merupakan pintu masuk yang paling sempit (pintu eksklusif). Pintu ini hanya dapat dimasuki oleh sastrawan yang berasal dari kalangan etnis Banjar yang nyata-nyata lahir, tinggal, atau pernah tinggal di Tanah Banjar saja (bukan sastrawan anonim). Saking sempitnya, sastrawan berdarah Banjar yang tinggal di Tanah Banjar saja belum tentu dapat memasuki pintu ini. Karya sastra berbahasa Banjar yang mereka lisankan atau tuliskan dalam bentuk sastra klasik atau sastra modern harus melewati uji materi atau uji publik, apakah isinya bercerita tentang kehidupan keseharian etnis Banjar di Kalsel, atau sebaliknya malah bercerita tentang masalah-masalah yang universal?
Memang, tidak semua karya sastra berbahasa Banjar yang dilisankan atau dituliskan dalam bentuk andi-andi, bacaan (mantra), bapandung (monolog), cerita rakyat (mitologi, legenda, hikayat, kisah, dongeng), japin carita (teater), lamut (prosa liris), madihin (puisi), mamanda (teater), pantun, syair, surat tarasul, hikayat (kisah panjang berbahasa Banjar : kisjang), kisdap (kisah handap : cerpen berbahasa Banjar), puisi, dan drama, bercerita tentang kehidupan keseharian etnis Banjar di Tanah Banjar.
Syair-syair yang selama ini diakui secara luas sebagai bukti kekayaan khasanah sastra Banjar klasik yang asli, ternyata tidak dimuati dengan paparan menyangkut kode budaya dan warna lokal yang khas etnis Banjar sebagaimana yang mungkin dipersangkakan orang selama ini. Menurut Suryanata (h.148), Sair Siti Zubaidah, Sair Tija Diwa, Sair Ratu Kuripan, Sair Brahma Sahdan, Sair Madi Kancana, Sair Gunung Sari, dan Sair Ganda Kasuma, dan Sair Burung Karuang, sesungguhnya tidak sepenuhnya mencerminkan kode budaya dan warna sosio-kultural masyarakat Banjar. Sebaliknya, bahkan, sangat banyak mengungkapkan kode budaya dan nilai-nilai kultural yang sesungguhnya asing bagi masyarakat Banjar sendiri.
Di sana-sini di dalam syair-syair dimaksud memang ditemukan sisipan sejumlah kosa-kata bahasa Banjar, nama-nama burung dalam bahasa Banjar, dan nama buah-buahan dalam bahasa Banjar. Tapi, apakah itu sudah cukup signifikan untuk dijadikan sebagai bukti menyangkut adanya kode budaya dan warna lokal dalam syair-syair dimaksud?
Karya sastra berbahasa Banjar yang bercerita tentang kehidupan keseharian etnis Banjar yang tidak diketahui apa dan siapa pengarangnya (bersifat anonim) juga tidak dapat masuk ke dalam rumah pustaka sastra Banjar melalui pintu kesatu ini. Terhadap para sastrawan anonim ini siapa yang dapat memastikan yang bersangkutan memang sastrawan berdarah Banjar yang lahir, tinggal, atau pernah tinggal di Tanah Banjar? Hikayat Banjar, Syair Abdul Muluk, Syair Perahu, Syair Kiamat, Syair Burung Jujuk termasuk karya sastra klasik berbahasa Banjar yang tidak dapat masuk ke rumah sastra Banjar karena faktor etnisitas pelisan atau penulisnya yang tidak jelas (orang Banjar atau orang asing).
Fakta menunjukkan, hampir semua karya sastra klasik berbahasa Banjar yang dilisankan atau dituliskan dalam bentuk andi-andi, bacaan (mantra), bapandung (monolog), cerita rakyat (mitologi, legenda, hikayat, kisah, dongeng), japin carita (teater), lamut (prosa liris), madihin (puisi), mamanda (teater), pantun, syair, dan surat tarasul, bersifat anonim atau tidak diketahui apa dan siapa pelisan atau penulisnya yang sejati (faktor etnisitas pengarangnya masih kabur).
Sastrawan Banjar yang dipastikan sudah masuk ke dalam rumah sastra Banjar melalui pintu yang kesatu ini antara lain : (1) A. Rasyidi Umar (dengan cerpennya Lawang dan Pitua), (2) Abdus Syukur MH (Latupan Cabi dan Tambus Nang Manyamani), (3) Aria Patrajaya (Tihang Bamata Malingan), (4) Bachtiar Sanderta (Aluh Campaka, Jabakan Kopi Kamandrah, Kai Iyus, Pitua Ma Haji Banjar, dan Tuli Sarumahan), (5) Burhanuddin Soebely (Rak Rak Gui), (6) Hijaz Yamani (Luka Nang Kada Sing Baikan), (7) Ian Emti (Amun Tambus Hanyar Kawin), (8) Jamal T. Suryanata (Balah Saribu, Galuh, dan Kariwaya), (9) M. Fitran Salam (Daluyan, Fitnah Kuyang, Galuh di Subalah Widai, Kaluh, Kawal Bahari, Mangatam Pilu, dan Maundak Kalayangan), (10) M. Rifani Djamhari (Malam Kumpai Batu), (11) Noor Aini Cahya Khairani (Batandu), (12) Sabrie Hermantedo (Kambang Pambarian), dan (13) Tajuddin Noor Ganie (Uma Ulun Nang Bungas dan Utuh Abut wan Tadung Kutung).

PINTU KEDUA
Semua jenis karya sastra yang bercerita tentang etnis Banjar yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar oleh sastrawan yang berasal dari kalangan etnis Banjar.
Sastra Banjar menurut definisi di atas merujuk kepada tiga ciri, yakni : (1) bercerita tentang kehidupan keseharian etnis Banjar (aspek sosio-kultural), (2) dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar (aspek bahasa), dan (3) sastrawan yang melisankan atau menuliskannya bukan sastrawan anonim, dalam hal ini sastrawan dengan faktor etnisitas yang jelas, yakni berasal dari kalangan etnis Banjar (faktor etnisitas). Karya sastra yang tidak memenuhi semua ciri yang disyaratkan tidak boleh dimasukan ke dalam kelompok sastra Banjar.
Pintu kedua ini dapat dimasuki oleh sastrawan Banjar yang tidak lahir, tidak tinggal, atau tidak pernah tinggal di Tanah Banjar, karena fokus dan lokusnya memang tidak dibatasi (tidak ditentukan). Sastrawan keturunan Banjar yang lahir atau tinggal di mana saja di muka bumi ini (Kalbar, Kalteng, Kaltim, Pulau Jawa, Nusa Tenggara, Pulau Sumatera, Pulau Sulawesi, Pulau Papua, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Timur Tengah, dan lain-lain) boleh masuk melalui pintu yang ke dua ini.
Syaratnya sastrawan Banjar yang bersangkutan dapat melisankan atau menuliskan karya sastra berbahasa Banjar yang bercerita tentang kehidupan keseharian etnis Banjar di mana saja di muka bumi ini (tidak dibatasi fokus dan lokusnya). Sastrawan Malaysia keturunan Banjar seperti Abdul Majid bin Lajim, Asari bin Osman, dan Ismail bin Najar (yang sering mempublikasikan karya sastra berbahasa Banjar mereka di situs internet, yang beberapa judul di antaranya pernah dimuat di Tabloid Bandarmasih, Banjarmasin) dengan sendirinya dapat masuk ke rumah pustaka sastra Banjar melalui pintu yang kedua ini.

PINTU KETIGA
Semua jenis karya sastra yang bercerita tentang etnis Banjar yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar oleh siapa saja (tidak mesti oleh orang Banjar).
Sastra Banjar menurut definisi di atas merujuk kepada dua ciri, yakni : (1) bercerita tentang kehidupan keseharian etnis Banjar (aspek sosio-kultural), dan (2) dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar (aspek bahasa). Karya sastra yang tidak memenuhi semua ciri yang disyaratkan tidak boleh dimasukan ke dalam kelompok sastra Banjar.
Implikasi yang ditimbulkan oleh rumusan definisi sastra Banjar di atas adalah terbukanya peluang bagi siapa saja yang berminat untuk melisankan atau menuliskan karya sastra berbahasa Banjar yang berisi cerita tentang kehidupan keseharian etnis Banjar, meskipun berdasarkan faktor etnisitasnya sastrawan yang bersangkutan tidak berdarah Banjar (bukan orang Banjar, tapi orang bersuku lain, atau bahkan orang asing sekalipun). Termasuk dalam kelompok ini adalah para sastrawan anonim (yang tidak jelas faktor etnisitasnya) yang telah melisankan atau menuliskan karya sastra berbahasa Banjar, baik dalam bentuk klasik maupun dalam bentuk modern.
Pintu ke tiga ini merupakan pintu masuk bagi para sastrawan yang tidak berdarah Banjar tetapi mampu melisankan atau menuliskan karya sastra berbahasa Banjar yang menceritakan tentang kehidupan keseharian etnis Banjar di mana saja di muka bumi ini (tidak dibatasi fokus dan lokusnya). Mereka pada umumnya adalah sastrawan Kalsel yang tidak berdarah Banjar tapi fasih berbahasa Banjar karena memang lahir, tinggal, atau pernah tinggal di Tanah Banjar dalam kurun waktu yang cukup lama (baca : sastrawan Kalsel keturunan Batak, Betawi, Bugis, Dayak, Jambi, Jawa, Madura, Mandar, Melayu, Minang, Sunda, dan lain-lain).
PINTU KEEMPAT
Semua jenis karya sastra yang bercerita tentang apa saja (tidak mesti tentang etnis Banjar) yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar (bukan dalam bahasa lainnya) oleh siapa saja (tidak mesti oleh orang Banjar).
Sastra Banjar menurut definisi di atas merujuk kepada satu ciri, yakni karya sastra yang menjadikan bahasa Banjar sebagai media publikasinya, baik secara lisan maupun secara tertulis. Semua karya sastra yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar (aspek bahasa), tanpa memandang apapun yang diceritakannya (aspek sosio-kultural), dan siapa pun yang melisankan atau menuliskannya (termasuk sastrawan anonim)(faktor etnisitas) sudah memenuhi kriteria untuk dimasukan ke dalam kelompok sastra Banjar.
Implikasi yang ditimbulkan oleh rumusan definisi sastra Banjar di atas adalah tidak berlakunya batasan etnisitas menyangkut apa dan siapa sastrawan yang boleh melisankan atau menuliskan karya sastra berbahasa Banjar. Dalam hal ini terbuka peluang bagi siapa saja untuk menulis karya sastra berbahasa Banjar, meskipun yang bersangkutan bukan orang Banjar, tetapi orang bersuku lain atau bahkan orang asing sekalipun (termasuk di dalamnya sastrawan anonim). Syaratnya, yang bersangkutan mampu melisankan atau menuliskan salah satu jenis karya sastra dalam bahasa Banjar.
Definisi sastra Banjar yang ditempelkan di pintu ke empat rumah pustaka sastra Banjar ini dirumuskan berdasarkan definisi sastra Banjar yang dipublikasikan Jamal T. Suryanata melalui tulisannnya berjudul Sastra Banjar Modern : Secuil Harapan dan Segepok Persoalan (Jarkasi dan Hernawan, 2006 : 143-152). Menurutnya, sastra Banjar adalah seluruh karya sastra, apa pun bentuk dan genrenya, yang diungkapkan dalam bahasa Banjar. Masih menurut Suryanata (2006:38) definisi sastra Banjar yang hanya mengenakan syarat bahasa Banjar seperti ini merupakan definisi sastra Banjar yang normatif, masih ada definisi sastra Banjar yang lain, yakni definisi yang bersifat ideal, yakni definisi sastra Banjar yang mengintegrasikan aspek bahasa, sosio-kultural, dan etnisitas pengarangnya (ketiga pilar inilah yang mendasari terbentuknya definisi sastra Banjar yang ditempelkan pada pintu kesatu rumah pustaka sastra Banjar di atas, TNG).
Bertolak dari definisi normatif yang menuntut dipergunakannya bahasa Banjar sebagai bahasa pengungkap karya sastranya, maka keberadaan karya sastra hasil karya sastrawan Kalsel (yang berdarah Banjar sekali pun, TNG) yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Indonesia (bukan dalam bahasa Banjar, TNG), menurut Suryanata (2006:38), mau tidak mau harus dikesampingkan dari zona pembicaraan tentang sastra Banjar. Sebaliknya, siapa saja yang mampu memenuhi tuntutan normatif menyangkut penggunaan bahasa Banjar sebagai bahasa ungkap karya sastranya, tanpa kecuali (termasuk sastrawan anonim), dapat masuk ke dalam rumah sastra Banjar melalui pintu yang keempat ini.
Pintu keempat ini juga merupakan pintu masuk untuk syair-syair berbahasa Banjar yang tidak dimuati dengan paparan menyangkut kode budaya atau warna lokal yang khas etnis Banjar termasuk karya sastra yang masuk ke rumah pustaka sastra Banjar melalui pintu keempat ini. Syair-syair dimaksud antara lain, Syair Brahma Sahdan (H. Pangeran Musa), Syair Ganda Kasuma (Haji Pangeran Musa), Syair Mayat (Haji Pangeran Musa), Syair Roko Amberi (Kiai Mas Ahmad Dipura), Syair Ringgit (Hajjah Umi), Syair Siti Zubaidah, Syair Tija Diwa, Syair Ratu Kuripan, , Syair Madi Kancana, Syair Gunung Sari, dan Syair Burung Karuang

PINTU KELIMA
Semua jenis karya sastra yang bercerita tentang etnis Banjar, dilisankan atau dituliskan oleh siapa saja (tidak mesti oleh orang Banjar), dan dalam bahasa apa saja (tidak mesti dalam bahasa Banjar).
Sastra Banjar menurut definisi di atas merujuk kepada satu ciri, yakni bercerita tentang kehidupan keseharian etnis Banjar (aspek sosio-kultural). Lokus dan fokus etnis Banjar yang diceritakan di dalam karya sastranya tidak dibatasi pada etnis Banjar yang tinggal di Tanah Banjar saja, tetapi meliputi semua lokus dan fokus etnis Banjar yang ada di mana saja di muka bumi ini (Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara, Sumatera, Sulawesi, Papua, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Timur Tengah, dan lain-lain).
Implikasi yang ditimbulkan oleh rumusan definisi sastra Banjar di atas adalah semua jenis karya sastra yang bercerita tentang kehidupan keseharian etnis Banjar di mana pun juga di muka bumi ini (tidak dibatasi fokus dan lokusnya) termasuk dalam kelompok sastra Banjar. Tidak peduli apakah karya sastra dimaksud masih berbentuk sastra lisan atau sudah berbentuk sastra tulis?. Tidak peduli apakah karya sastra dimaksud dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar, bahasa lokal lainnya, bahasa Indonesia, atau bahkan bahasa asing sekalipun? (aspek bahasa). Tidak peduli apa dan siapa sastrawan yang melisankan atau menuliskan karya sastra dimaksud? (termasuk sastrawan anonim) (aspek etnisitas).
Mengingat bahasa Banjar bukan merupakan ciri yang dijadikan dasar penetapannya sebagai sastra Banjar, maka dapat saja terjadi karya sastra yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar sekali pun tidak memenuhi kriteria untuk dimasukan ke dalam kelompok sastra Banjar, karena yang diceritakan di dalamnya bukanlah kehidupan keseharian etnis Banjar sebagaimana yang disyaratkan dalam rumusan definisi sastra Banjar itu sendiri.
Definisi sastra Banjar yang ditempelkan di pintu ke lima rumah pustaka sastra Banjar ini dirumuskan berdasarkan definisi sastra Banjar yang dipublikasikan Tarman Effendi Tarsyad (TET) melalui tulisannnya berjudul Sastra Banjar : Definisi, Ciri, dan Karyanya (Jarkasi dan Hernawan, 2006 : 153-165). Menurutnya, sastra Banjar adalah semua bentuk karya sastra yang diekspresikan oleh siapa saja, baik dalam bahasa Banjar maupun dalam bahasa Indonesia, selama karya sastra itu isinya mengungkapkan (segala) sesuatu yang terkait dengan etnografi orang Banjar.
Menurut TET, yang penting adalah isi karya sastranya, bukan asal-usul orang yang mengekspresikannya, dan bukan pula bahasa yang digunakan untuk mengekpresikannya. Sastrawan yang mengekspresikannya boleh siapa saja (bukan orang Banjar sekali pun), dan bahasa yang digunakannya boleh bahasa apa saja (tidak mesti bahasa Banjar), yang penting isi karya sastranya berkaitan dengan etnografi orang Banjar.
Etnografi orang Banjar yang dimaksudkan Tarsyad merujuk kepada deskripsi kebudayaan orang Banjar yang meliputi 9 unsur kebudayaan, seperti : (1) lokasi, lingkungan, dan demografi, (2) asal mula dan sejarah suku bangsa, (3) bahasa, (4) sistem teknologi, (5) sistem mata pencaharian, (6) organisasi sosial, (7) sistem pengetahuan, (8) kesenian, dan (9) sistem religi.
Meskipun diekspresikan dalam bahasa Banjar oleh sastrawan Banjar, namun karena isinya bukan mengenai etnografi orang Banjar, maka karya sastra itu tidak dapat dimasukan ke dalam kelompok sastra Banjar. Contohnya menurut Tarsyad adalah Tajabak Kabut (puisi : Eza Thabry Husano), Gunung Kidul (puisi : Hamamy Adaby), Sanja Luruh (puisi : Arsyad Indradi), Bulan Bulat Bulaling (cerpen : Jamal T. Suryanata), dan Dasi, Nasi, Basi (cerpen : Jamal T. Suryanata).
Sebaliknya, meskipun diekspresikan dalam bahasa Indonesia oleh sastrawan yang bukan orang Banjar, namun karena isinya mengenai etnografi orang Banjar, maka karya sastra itu dapat saja dimasukan ke dalam kelompok sastra Banjar. Contohnya menurut Tarsyad adalah Sungai Martapura (puisi : Slamet Sukirnanto), Sajak Pagi Muara Kuwin (puisi : Diah Hadaning), Pulau Kembang (puisi : Bambang Widiatmoko), dan Pasar Lama (cerpen : Korrie Layun Rampan).
Masih ada satu karya sastra lainnya yang juga dapat dimasukan ke dalam rumah pustaka sastra Banjar melalui pintu kelima ini, yakni Syair Pangeran Syarif Hasyim gubahan Engku Raja al Haji Daud bin Engku Raja al Haji Ahmad. Meskipun syair ini ditulis dalam bahasa Melayu oleh sastrawan yang juga berdarah Melayu (Riau), namun isinya bercerita tentang pengalaman hidup Pangeran Syarif Hasyim ketika bertugas sebagai pejabat militer Belanda di wilayah Kerajaan Banjar pada saat meletusnya Perang Banjar.
Fakta menunjukan, sastrawan Indonesia yang masuk ke rumah pustaka sastra Banjar melalui pintu ke lima ini pada umumnya adalah sastrawan Indonesia asal daerah Kalsel juga, yaitu mereka yang menulis karya sastra tentang kehidupan keseharian etnis Banjar di Kalsel dalam bahasa Indonesia.
Sekadar menyebut beberapa nama, sastrawan Kalsel yang masuk melalui pintu ke lima ini antara lain : (1) Merayu Sukma (dengan romannya berjudul Putera Mahkota yang Terbuang), (2) Hadharyah M. Sulaiman (Suasana Kalimantan), (3) Aliansyah Luji (Memperebutkan Mawar di Candi Agung dan Intan Berlumur Darah), (4) Goemberan Saleh (Affair di Tanjung Silat), (5) Bachtar Suryani (antologi puisi : Sketsa Banjarmasin), (6) Tajuddin Noor Ganie dan Hadian Noor (kumpulan cerpen : Nyanyian Alam Pedalaman), dan (7) Tajuddin Noor Ganie (cerbung : Tegaknya Masjid Kami).
Meskipun pintu ke lima ini selalu terbuka untuk dimasuki oleh siapa saja, namun fakta menunjukan tidak banyak sastrawan dari luar daerah Kalsel atau luar etnis Banjar yang tertarik untuk memanfaatkan kesempatan itu. Sampai sejauh ini peluang itu hanya dimanfaatkan secara tidak sengaja, tanpa disadari, atau bahkan tanpa dikehendaki oleh Slamet Sukirnanto, Diah Hadaning, Bambang Widiatmoko, Korrie Layun Rampan, dan Engku Raja al Haji Daud bin Engku Raja al Haji Ahmad sendiri. Semua karya sastra dimaksud tidak mereka tulis dengan interes agar dapat masuk ke rumah pustaka sastra Banjar melalui pintu ke lima yang dibukakan oleh Tarman Effendi Tarsyad ini.
Definisi yang diajukan TET khususnya menyangkut kebolehan memakai bahasa bukan bahasa Banjar patut dikritisi. Fakta menunjukkan unsur bahasa yang dimaksud sebagai salah satu dari sembilan unsur dalam deskripsi etnografi orang Banjar di atas tidak bisa tidak adalah bahasa Banjar. Teori etnografi yang dipaparkan oleh TET adalah teori Koentjaraningrat tentang 9 unsur kebudayaan lokal. Di mana, unsur bahasa yang dimaksudkan oleh Koentajaraningrat adalah bahasa lokal bukan bahasa yang lainnya.
Selain itu, jika kita mengikuti definisi TET, maka tidak tertutup kemungkinan sejumlah cerpen karangan Umar Khayam berjudul Kunang-kunang di Manhattan dan novel karangan Budi Darma berjudul Orang-orang Bloomington dapat dimasukkan ke dalam sastra Amerika Serikat. Betapa tidak? Meskipun ditulis dalam bahasa Indonesia, cerpen dan novel dimaksud bercerita tentang etnografi orang Amerika Serikat.
Pertanyaannya sekarang apakah peluang itu memang ada bagi Umar Khayam dan Budi Darma? Hanya TET yang bisa menjawab. TET kutunggu jawabmu.


BAHAN BACAAN
Ganie, Tajuddin Noor. 1998. Sejarah Lokal Kesusastraan Indonesia di Kalimantan Selatan. Banjarmasin : Penerbit Pusat Pengkajian Masalah Sastra (PUSKAJIMASTRA) Kalimantan Selatan, Cetakan I.
Jarkasi dan Sainul Hernawan. 2006. Sastra Banjar Kontekstual. Banjarmasin : Penerbit IRCiSoD Yogyakarta, FKIP Unlam Press Banjarmasin, dan Forum Kajian Budaya Banjar Banjarmasin, Cetakan I.
Jarkasi dan Djantera Kawi. 2000. Kajian Seni : Karakter Tokoh-Tokoh Idaman Cerpen Banjar Modern. Banjarmasin : Dewan Kesenian Daerah Kalimantan Selatan dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kalsel, Cetakan I.
Taman Budaya Kalsel. 2004. Kompilasi Naskah Cerpen Banjar. Banjarmasin : Taman Budaya Kalsel, Cetakan I.

1 komentar:

  1. Saya sudah menerbitkan sejumlah buku tentang puisi Banjar genre lama berbentuk madihin, mantra, pantun, peribahasa, dan syair. Siapa berminat silakan menghubungi saya.

    BalasHapus