Minggu, 12 Desember 2010

OBITUARI PAK JARKASI

OBITUARI PAK JARKASI

SELAMAT JALAN
DOSENKU DAN SAHABATKU

Oleh Tajuddin Noor Ganie, M.Pd

KALI PERTAMA BERKENALAN
Perkenalanku dengan Pak Jarkasi terjadi pada suatu hari di tahun 1982, yakni di Radio Anka Thress Banjarmasin.
Ketika itu beliau bersengaja datang ke tempat itu untuk bertemu denganku yang tengah ikut baca puisi dalam acara sastra di bawah panduan Pak Awi salah seorang penyiar di sana.
Beliau memintaku untuk bersedia menjadi pemakalah di kampus Fakultas Keguruan Universitas Lambung Mangkurat (FKg Unlam) Banjarmasin.
Waw, permintaan yang sangat mengejutkan. Ketika itu aku baru saja memulai karier sebagai penulis esai sastra di koran-koran.
Sebagai orang yang baru belajar menulis esai sastra, sudah barang tentu pengalamanku masih sedikit.Terus terang aku ragu-ragu untuk menerima permintaan Pak Jarkasi.
Bukan apa-apa, aku sama sekali belum berpengalaman menulis makalah yang harus dipresentasikan di hadapan para dosen dan mahasiswa FKg Unlam.
Keraguan yang sangat wajar, karena sampai dengan berusia 24 tahun ketika itu, aku belum pernah duduk di bangku kuliah. Jadi sama sekali belum tahu bagaimana format penulisan makalah.
Selain itu, sebelumnya aku juga tidak pernah berbicara secara formal di depan publik.
Pengalamanku ketika itu hanya sebatas pada baca puisi di RRI Nusantara III Banjarmasin, Radio Anka Thress, dan sekali-sekali ikut lomba baca puisi di seputaran kota Banjarmasin.
“Topiknya tentang apa, Pak?”
“Terserah Pak Tajuddin saja. Apapun yang Pak Tajuddin tulis akan kami terima dengan senang hati,” kurang lebih itulah yang dikatakan oleh Pak Jarkasi ketika itu.
Oh, iya. Status Pak Jarkasi ketika itu adalah sebagai mahasiswa yang menjadi panitia cermah sastra Bulan Bahasa di kampusnya.
Entah bagaimana ceritanya, aku malam itu pada akhirnya nekad saja mengiyakan permintaan Pak Jarkasi.

NEKAD TAMPIL BERCERAMAH
Jadilah, pada tanggal 24 Oktober 1982, sekitar pukul 09.00 Wite, aku tampil berceramah di kampus FKg Unlam yang ketika itu masih berada di Jalan Veteran Banjarmasin.
Aku masih ingat, selain dihadiri oleh para dosen dan para mahasiswa, juga hadir kawan-kawan dari Himpunan Penyair Muda Banjarmasin (HPMB).
Beberapa orang orang yang masih kuingat adalah Micky Hidayat, Miziansyah J alm, dan Ahmad Fahrawi alm.
Dari kalangan mahasiswa yang masih kuingat adalah Nellawati Agen, Zulkipli Musaba, Abdul Karim, dan sudah barang tentu Pak Jarkasi sendiri.
Hari itu aku membacakan makalah berjudul Kepelikan Faktor Dominan Keterasingan Puisi Kita. Puisi-puisi pelik yang kubahas ketika itu tidak lain adalah puisi kawan-kawan penyair Kalsel yang baru saja mengikuti Forum Penyair Muda Delapan Kota Kalsel 1982 (Balai Wartawan Banjarmasin, 18-19 September 1982)
Boleh jadi, karena isinya bersifat kritik maka kawan-kawan yang terkena kritik tidak tinggal diam. Mereka berebutan untuk menanggapinya.
Tanggapan juga datang bertubi-tubi dari kawan-kawan mahasiswa FKg Unlam yang usia mereka ketika ketika itu tidak terpaut jauh denganku.
Aku ketika itu kalang kabut menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang datang silih berganti.

DOSENKU SEKALIGUS SAHABATKU
Selepas itu, aku masih sering berhubungan dengan Pak Jarkasi. Lebih-lebih setelah Pak Jarkasi menjadi dosen mata kuliah ilmu-ilmu sastra di FKg Unlam Banjarmasin..
Pak Jarkasi tidak hanya aktif sebagai dosen, tetapi juga aktif menulis esai-esai sastra di koran-koran. Basis komunikasi di antara kami berdua tidak pernah jauh-jauh dari masalah sastra. Begitulah yang terjadi dari masa ke masa.
Tidak jarang, aku dan kawan-kawan bertandang ke rumah Pak Jarkasi di bilangan Gang Biduri, Kertak Hanyar. Kami berdiskusi di rumah beliau hingga larut malam.
Tahun 1997-2002, aku melanjutkan kuliah di PBSID STKIP PGRI Banjarmasin. Selama itu, aku mengikuti beberapa mata kuliah yang diasuh oleh Pak Jarkasi. Posisi ini membuatku banyak terhutang budi dan ilmu pengetahuan dengan Pak Jarkasi. Sehubungan dengan itu, tidak lupa kuucapkan terima kasih kepada beliau.
Ilmu yang beliau kuliahkan kepadaku dan kepada para mahasiswa lainnya sudah pasti adalah ilmu yang bermanfaat. Insya Allah semua ilmu dimaksud akan berbuah menjadi amal jariah yang tidak akan pernah putus-putusnya mengalirkan pahala kepada beliau. Amin.
Tahun 2000, aku dan Pak Jarkasi kembali terlibat hubungan kerja yang sangat intens, yakni ketika kami bersama-sama menyelesaikan penulisan buku Sketsa Sastrawan Kalimantan Selatan.
Berkat akses yang dimiliki Pak Jarkasi maka setahun kemudian Balai Bahasa Banjarbaru kemudian berkenan untuk menerbitkannya dalam bentuk buku yang refresentatif (2001).

POLEMIK SASTRA BANJAR
Tahun 2005, pecah polemik sastra Banjar di SKH Radar Banjarmasin. Pak Jarkasi termasuk ke dalam kelompok para pemikir sastra yang mengusung opini bahwa sastra Banjar tidak mesti ditulis dalam bahasa Banjar.
Boleh jadi karena itulah maka sebagai editor buku Sastra Banjar Kontekstual (Banjarmasin, 2006) Pak Jarkasi (dan Sainul Hermawan) meloloskan tulisan Tarman Effendi Tarsyad (TET) berjudul Sastra Banjar : Definisi, Ciri, dan Karyanya (halaman 153-165).
Menurut TET, sastra Banjar adalah semua bentuk karya sastra yang diekspresikan oleh siapa saja, baik dalam bahasa Banjar maupun dalam bahasa Indonesia, selama karya sastra itu isinya mengungkapkan (segala) sesuatu yang terkait dengan etnografi orang Banjar.
Masih menurut TET, yang penting adalah isi karya sastranya, bukan asal-usul orang yang mengekspresikannya, dan bukan pula bahasa yang digunakan untuk mengekpresikannya. Sastrawan yang mengekspresikannya boleh siapa saja (bukan orang Banjar sekali pun), dan bahasa yang digunakannya boleh bahasa apa saja (tidak mesti bahasa Banjar), yang penting isi karya sastranya berkaitan dengan etnografi orang Banjar.
Etnografi orang Banjar yang dimaksudkan Tarsyad merujuk kepada deskripsi kebudayaan orang Banjar yang meliputi 9 unsur kebudayaan, yakni (1) lokasi, lingkungan, dan demografi, (2) asal mula dan sejarah suku bangsa, (3) bahasa, (4) sistem teknologi, (5) sistem mata pencaharian, (6) organisasi sosial, (7) sistem pengetahuan, (8) kesenian, dan (9) sistem religi.
Definisi yang diajukan TET khususnya menyangkut kebolehan memakai bahasa bukan bahasa Banjar patut dikritisi. Fakta menunjukkan unsur bahasa yang dimaksud sebagai salah satu dari sembilan unsur dalam deskripsi etnografi orang Banjar di atas tidak bisa tidak adalah bahasa Banjar.
Teori etnografi yang dipaparkan oleh TET di atas merujuk kepada teori Koentjaraningrat tentang 9 unsur kebudayaan lokal. Di mana, unsur bahasa yang dimaksudkan oleh Koentajaraningrat adalah bahasa lokal bukan bahasa yang lainnya.
Selain itu, jika kita mengikuti definisi TET, maka tidak tertutup kemungkinan sejumlah cerpen karangan Umar Khayam (Kunang-kunang di Manhattan) dan novel Budi Darma berjudul Orang-orang Bloomington dapat dimasukkan ke dalam sastra Amerika Serikat. Meskipun ditulis dalam bahasa Indonesia oleh sastrawan Indonesia, cerpen dan novel dimaksud bercerita tentang etnografi orang Amerika Serikat.
Pertanyaannya sekarang apakah peluang itu memang ada bagi Umar Khayam dan Budi Darma?
Aku ingin sekali mendiskusikan pokok pikiran TET di atas dengan Pak Jarkasi. Namun, sayang seribu kali sayang, ketika argumen di atas berhasil kurumuskan, Pak Jarkasi sudah mulai sakit-sakitan, dan beliau sudah pula mengambil sikap tidak mau lagi berbicara tentang sastra berikut segala tetek bengeknya.
.Ketika bertakziah ke rumah Pak Jarkasi pada hari Sabtu, 28 Agustus 2010, semua kenangan di atas seolah tergambar kembali di pelupuk mataku yang basah menahan sedih.
Innalillahiwainna ilaihirojiun.
Selamat jalan Pak Jarkasi, dosenku dan sahabatku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar