Minggu, 12 Desember 2010

INTAN TRISAKTI

TRAGEDI INTAN TRISAKTI

Oleh Tajuddin Noor Ganie, M.Pd
Mantan Pendulang Intan 1975-1979

Intan Trisakti (IT) adalah nama intan sebesar 166,75 karat yang ditemukan oleh sekelompok pendulang intan dibawah pimpinan H. Madslam dkk (24 orang) di lokasi pendulangan intan Sungai Tiung, Kecamatan Cempaka, Kabupaten Banjar (sekarang Kota Banjarbaru), Kalsel, pada tanggal 26 Agustus 1965. Nama IT diberikan oleh Presiden Soekarno.
Menurut versi piagam yang diberikan oleh Menteri Pertambangan Republik Indonesia (Armunanto), IT tidak dijual oleh para penemunya tetapi dipersembahkan kepada Paduka Yang Mulia Presiden Soekarno (Majalah Sarinah Jakarta). Atas jasa bakti persembahan itu pemerintah berjanji akan memberikan balas jasa yang sepadan kepada para H. Madslam dkk.
Balas jasa memang diberikan dalam bentuk ongkos naik haji untuk para penemu intan ditambah dengan sanak keluarganya, dan para pejabat yang terlibat. Jika dihitung secara keseluruhan, akumulasi uang balas jasa yang diberikan pemerintah kepada H. Madslam dkk ketika itu tercatat sebesar Rp. 3,5 juta. Padahal, konon menurut taksiran kasar, harga yang pantas untuk IT ketika itu adalah Rp. 10 Trilyun.
Berikut ini adalah hasil penelusuran yang dilakukan oleh Tajuddin Noor Ganie tentang segala sesuatu menyangkut IT.

22 AGUSTUS 1965
Pukul 01.00-02.30
H. Madslam salah seorang pendulang intan di Kecamatan Cempaka bermimpi menggiring ratusan ekor kerbau menuju ke sebuah bukit. Begitu kerbau-kerbau itu sampai ke tempat yang dituju, H. Madslam terbangun dari tidurnya. H. Madslam ketika itu berstatus sebagai kepala kelompok pendulang intan yang berjumlah 22 orang. Mereka ketika itu sedang menggarap sebuah lubang pendulangan di lokasi penduangan intan Cempaka.
Pada waktu yang sama, H. Sarimanis, anak buah H. Madslam, bermimpi tubuhnya ditindih seseorang yang bertubuh tambun. Ia hampir kehabisan nafas. Untunglah, pada saat yang kritis itu datang bantuan dari seseorang. Orang itu menolongnya membebaskannya dari tindihan orang bertubuh gempal. Setelah itu, H. Sarimanis terbangun dari tidurnya.
H. Masykur bin H. Jerman, anak buah H. Madslam, bermimpi melihat sejumlah mayat berserakan di bibir mulut lubang pendulangan intan yang sedang mereka garap sejak beberapa hari yang lalu.
H. Tahir, anak buah H. Madslam, bermimpi melihat dua andaru (meteor). Satu andaru jatuh ke dalam lubang pendulangan, dan andaru yang satunya lagi jatuh ke atap rumah H. Madslam.
Seorang ulama warga kota Kecamatan Cempaka yang tidak bersedia menyebutkan namanya bermimpi melihat kota Cempaka dilanda banjir bandang.

KAMIS, 26 AGUSTUS 1965
Pukul 11.00 WITE
H. Mastiah, seorang pendulang intan anak buah H. Madslam, sedang mengerjakan tugasnya sebagai pengayak batu
dulangan (piantakan, bahasa Banjar). Batu dulangan yang masih dilekati tanah liat itu dibersihkan dengan air. Tangannya yang terlatih mengaduk-aduk batu dulangan itu. Batu-batu kecil yang lolos dari lubang ayakannya langsung masuk ke dalam linggangan yang sengaja dipasang di bawahnya.
Setelah bersih, batu-batu besar yang tersisa di dalam ayakan dibolak-baliknya dengan hati-hati, sementara itu matanya menatap dengan cermat ke arah tumpukan batu bersih yang sedang dibolak-baliknya itu.
Ternyata, tidak ada intan besar yang tersangkut di ayakan itu. H. Mastiah sempat kaget setengah mati karena ia melihat ada seekor ular kecil berwarna ungu sedang melingkar di antara batu-batu dulangan yang sedang diperiksanya itu.
Ia bisa saja menimpuk ular kecil itu dengan batu besar yang ada di tangannya. Tapi ia tidak melakukannya, karena hal itu termasuk pantangan besar bagi seorang pendulang intan. H. Mastiah juga tidak mengusir ular itu dengan kibasan tangan atau degann bahasa isyarat hus, hus, hus, karena ha itu juga tabu dilakukan.
H. Mastiah akhirnya nekad menangkap ular itu, namun aneh bin ajaib begitu berada di dalam genggamannya ular itu tiba-tiba berubah wujud menjadi batu kecubung berwarna ungu. Ia tidak jadi melemparkannya sebagaimana yang sudah diniatkannya tadi. H. Mastiah kemudian menyerahkan batu kecubung berwarna ungu itu kepada Syukri teman sekerjanya yang kebetulan tengah duduk berdampingan dengannya. Ketika itu Syukri juga bertugas sebagai seorang pengayak batu seperti halnya H. Mastiah.
“Galuh!” pekik Syukri begitu mengamati batu kecubung berwarna ungu itu, Galuh adalah kata ganti untuk menyebut intan.
Sesaat kemudian terjadilah kegaduhan kecil di lokasi pendulangan intan itu. Orang-orang yang ada di sana saling berebutan ingin melihat benda yang disebut-sebut Syukri sebagai galuh itu.

Pukul 12.10 WITE
Warga desa Sungai Tiung, Kecamatan Cempaka, gempar. Mereka berlarian dari arah kampung menuju ke lokasi pendulangan intan. Mereka tampaknya seperti sedang berlomba adu cepat tiba di lokasi pendulangan intan.
Rupanya, dalam tempo singkat berita penemuan sebutir batu besar berwarna ungu yang diduga intan itu sudah sampai ke segenap penjuru desa.
Sementara itu, di lokasi pendulangan intan, orang-orang sedang ramai mengerubungi H. Madslam yang tengah memegang sebutir batu berwarna ungu sebesar bola pimpong.
Di antara orang-orang yang sedang berkerubung itu ada yang mengatakannya bukan intan, tapi cuma batu kecubung, tetapi banyak juga mereka yang haqqul yakin itu intan.
“Ini galuh. Asli galuh. Yakin ini pasti galuh!”
“Bukan, ini bukan galuh. Ini cuma batu kecubung!”
“Galuh!”
“Bukan!
Tiba-tiba di antara mereka ada yang mencabut mandau dengan maksud membelah batu ungu itu menjadi dua. Jika belah berarti batu, jika tidak berarti intan.
Tapi, orang-orang serentak mencegahnya karena hal itu tidak akan menyelesaikan masalah sebaliknya malah menimbulkan masalah.
“Sudah. Sudah. Bagaimana kalau kita semua sama-sama pergi ke rumah Pak Kades H. Anang Syachruni saja. Biar beliau yang memutuskan apakah benda ini intan atau cuma batu kecubung”
“Akur!”
Mereka lalu berbondong-bondong meninggalkan lokasi pendulangan intan menuju ke rumah Pak Kades yang terletak di jantung kota Cempaka.

Pukul 14.00 WITE
Begitu rombongan H. Madslam dan kawan-kawan tiba di rumah H. Anang Syachruni, rumah Pak Kades itu langsung penuh sesak.
Penduduk tidak hanya berdesak-desakan di dalam rumah tetapi juga di sekeliling bagian luar rumah. Rumah Pak Kades ketika itu seperti kapal yang tengah berada di tengah-tengah lautan manusia.
H. Anang Syachruni ternyata tidak dapat memastikan apakah batu ungu itu intan atau cuma batu kecubung. Mereka kemudian bersepakat untuk membawa batu ungu itu ke hadapan Bupati Banjar (H. Basri BA).

Pukul 17.00 WITE
Setelah segala sesuatunya siap, mereka berangkat secara berombongan ke rumah dinas Bupati Banjar yang terletak di jantung kota Martapura.
Mereka yang berangkat antara lain H. Madslam, H Jinu, H. Hassan, H. Anang Syachruni, H. Syukur, dan Sersan Rahmat (sebagai pengawal mereka).

Pukul 19.00 WITE
Rombongan H. Madslam diterima langsung oleh Bupati Banjar (H. Basri, BA). Begitu melihat batu ungu itu, Bupati Banjar kemudian menelepon anggota Panca Tunggal. Mereka diminta datang untuk menjadi saksi penemuan batu ungu yang sangat menakjubkan itu.
Selain itu, Bupati Banjar juga memanggil seorang ahli intan untuk memastikan apakah batu ungu itu intan atau cuma bartu kecubung.
Tidak lama kemudian, orang-orang yang dipanggil Bupati Banjar berdatangan satu demi satu. Mereka adalah Kapten Inf. R. Soeparno (Komandan Kodim 1006 Martapura), AKBP Aridjas Syarif (Komandan Resort Kepolisian Banjar), Dahlan (Kepala Kejaksaaan Negeri Martapura), Poedjastoeti (Ketua Front Nasional Banjar), dan H. Hasnan (Camat Banjarbaru), dan ahli intan.
Begitu tiba, ahli intan segera melakukan pemeriksaan dengan menggunakan alat penguji intan yang dibawanya. Tidak lama kemudian ahli intan memastikan bahwa batu ungu itu adalah intan bukan batu kecubung.
Mendengar penegasan itu, H. Madslam dan kawan-kawan segera mengucap syukur dan beberapa orang di antaranya langsung sujud syukur.

Pukul 21.00 WITE
Tiba-tiba mereka yang berkumpul di rumah dinas Bupati Banjar dikejutkan oleh teriakan kebakaran. Ternyata, yang terbakar adalah Pasar Batuah, yakni pasar bertingkat dua yang terletak persis di seberang jalan rumah dinas Bupati Banjar
Pukul 22.00 WITE
Bupati Banjar memutuskan agar intan itu dititipkan di Kantor Resort Kepolisian Banjar, karena sangat riskan jika intan itu dibawa pulang kembali ke Cempaka pada malam hari itu juga. Salah-salah mereka akan dirampok orang di tengah perjalanan.
H. Madslam tidak setuju dengan keputusan Bupati Banjar. Mereka ingin membawa intan itu pulang kembali ke Cempaka pada malam itu juga. Mereka yakin tidak akan terjadi apa-apa di tengah jalan. Apa lagi mereka ketika itu dikawal oleh seorang anggota polisi (Sersan Rahmat).
Namun, keputusan Bupati Banjar didukung oleh anggota Panca Tunggal lainnya. Tidak ada pilihan bagi H. Madslam dan kawan-kawan kecuali menitipkan intan itu di Kantor Resort Kepolisian Banjar.
Penitipan itu disertai dengan tanda terima yang ditanda-tangai oleh Bupati Banjar, Dandim, Danres Kepolisian Banjar, dan disaksikan oleh 6 orang saksi yang ikut membubuhkan tanda tangannya.
Pada kesempatan itu Danres Kepolisian Banjar berjanji akan membawa intan titipan itu ke Cempaka untuk diserahkan kembali kepada para pemiliknya yang dalam hal ini diwakili oleh H. Madslam pada tgl 28 Agustus 1965.

SABTU, 28 AGUSTUS 1965
Pukul 07.00 WITE
Warga kota Cempaka sudah berkumpul di alun-alun kota. Suasana kota Cempaka tampak hiruk pikuk oleh kehadiran warga kota yang berdatangan dari segenap pelosok kota. Mereka ingin menyaksikan peristiwa langka yang tak mungkin terulang lagi.
Hari itu, H. Madslam selaku wakil pemilik akan menerima kembali intan temuan mereka yang selama 2 hari berturut-turut dititipkan di Kantor Resort Kepolisian Banjar di Martapura. Sesuai janji yang diucapkan Danres Kepolisian Banjar, intan itu akan diantarkan dan diserahkannya langsung kepada H. Madslam di hadapan warga kota Cempaka.

Pukul 11.00 Wite
Rombongan Danres Kepolisian Banjar tiba di alun-alun kota Cempaka. Mereka dielu-elukan oleh warga kota yang berkumpul di tempat itu. Danres Kepolisian Banjar kemudian memperlihatkan intan yang dipegangnya kepada warga kota Cempaka. Tapi, intan itu ternyata tidak diserahkan kembali kepada H. Madslam sesuai janji Danres Kepolisian Banjar.
Pada kesempatan itu diumumkan bahwa Presiden Soekarno telah memerintahkan agar intan segera dibawa ke Jakarta. Tiga orang telah ditunjuk untuk membawanya ke Jakarta, yakni Bupati Banjar, Danres Kepolisian Banjar, dan H. Madslam.

Pukul 14.00 Wite
H. Madslam dan para penemu intan lainnya berunding untuk merumuskan bagaimana caranya agar beberapa orang di antara mereka dapat ikut serta berangkat ke Jakarta.

Pukul 13.00 Wite
Direktur Utama BPU Pertambun Jakarta mengirim surat kepada Panca Tunggal Kabupaten Banjar bahwa intan temuan H. Madslam dkk akan dibeli pemerintah. Harga belinya akan ditetapkan dengan setepat-tepatnya setelah pemerintah mendapatkan penjelasan yang diperlukan dari para ahli ahli intan dari dalam dan luar negeri.
Surat itu dibawa langsung oleh Do’a Sulaiman selaku utusan BPU Pertambun Jakarta yang sengaja dikirim ke Banjarmasin dengan tugas khusus menjemput intan temuan H. Madslam dkk. Keberangkatannya ke Banjarmasin dikawal oleh satu tim polisi khusus.

MINGGU, 29 AGUSTUS 1965
Pukul 06.00 Wite
H. Madslam, H. Hasnan, H. Anang Syahruni, dan H. Hasyim berangkat ke lapangan terbang Ulin Banjarbaru. Mereka ingin bergabung dengan rombongan Bupati Banjar, dan Danres Kepolisian Banjar yang akan berangkat ke Jakarta pada hari itu juga.



Pukul 10.00 Wite
Ternyata, kursi yang tersedia di pesawat terbang Garuda Indonesia Airways tujuan Jakarta sudah terisi penuh. Mendengar penjelasan itu H. Madslam jatuh pingsan. Situasi di lapangan terbang Ulin Banjarbaru menjadi mencekam karenanya.
Pada saat itulah pesawat terbang Garuda Indonesia Airways yang membawa rombongan Do’a Sulaiman tiba di lapangan terbang Ulin Banjarbaru. Kepada Bupati Banjar, Danres Kepolisian Banjar, dan H. Madslam dkk diberitahukan bahwa intan itu akan dibeli pemerintah pusat dengan harga yang pantas.
Penetapan harga yang pantas itu akan dilakukan pemerintah setelah mendengar penjelasan para ahli mengenai kualitas fisik intan dan perkiraan harga jualnya di pasaran internasional. Namun, sebelum kesepakatan harga tercapai, pemerintah akan segera memberikan uang porsekot sebesar Rp. 200 juta.
Mendengar penjelasan Do’a Sulaiman itu, H. Madslam siuman. Pada saat itulah intan diserahkan kepada Do’a Sulaiman. Oleh Do’a Sulaiman intan itu dititipkan untuk disimpan di dalam tas milik istri Irjenpol Soekahar (Panglima Daerah Kepolisian Kalselteng) yang kebetulan juga akan berangkat ke Jakarta dengan menumpang pesawat terbang yang sama.

Pukul 12.00
Sesaat sebelum naik ke pesawat terbang Garuda Indonesia Airways, lagi-lagi H. Madslam jatuh pingsan. Ia terpaksa digantikan oleh H. Hasyim pamannya sendiri. H. Madslam siuman kembali ketika roda pesawat terbang terangkat dari landasan pacu lapangan terbang Ulin Banjarbaru. Namun, tidak berapa lama kemudian H. Madslam pingsan lagi.

Pukul 12.30 WIB
Pesawat terbang Garuda Indonesia Airways yang membawa intan hasil temuan Madslam dkk mendarat di lapangan terbang Kemayoran Jakarta. Intan kemudian dibawa ke rumah Soetjipto Joedodihardjo untuk dititipkan di sana.

SENIN, 30 AGUSTUS 1965
Pukul 12.00 Wite
H. Madslam, H. Hasnan, dan H. Anang Syahruni berangkat ke Jakarta dengan menumpang pesawat terbang yang tinggal landas di lapangan terbang Ulin Banjarbaru.
Ternyata, pesawat terbang Garuda Indonesia Airways yang mereka tumpangi tidak langsung terbang ke Jakarta, tetapi singgah dulu di Surabaya. Mereka terpaksa menginap di Surabaya.



Pukul 12.00 WIB
Sementara itu, di Jakarta, berlangsung pertemuan antara Presiden Soekarno dengan rombongan pembawa intan hasil temuan Madslam dkk. Pada kesempatan itulah intan diserahkan kepada Presiden Soekarno oleh Soetjipto Joedodihardjo dengan disaksikan langsung oleh rombongan pembawa intan yang datang dari daerah Kalsel.

SELASA, 31 AGUSTUS 1965
Pukul 12.00 Wite
H. Madslam, H. Hasnan, dan H. Anang Syahruni berangkat ke Jakarta dengan menumpang pesawat terbang Garuda Indonesia Airways yang tinggal landas di lapangan terbang Surabaya.

Pukul 12.30 WIB
H. Madslam, H. Hasnan, dan H. Anang Syahruni tinba di Jakarta. Mereka disambut oleh para petugas dari BPU Pertambun Jakarta. Mereka kemudian diinapkan di Mess Tambang Batubara Jakarta.

Pukul 19.00 Wite
H. Madslam, H. Hasnan, dan H. Anang Syahruni dijamu makan malam di sebuah rumah makan di Jalan Bungur Besar Jakarta.
Di tempat itu mereka bertemu dengan Irjenpol Soekahar (Pangdak Kalselteng), H. Basri BA (Bupati Banjar), AKBP Aridjas Syarif (Danres Kepolisian Banjar), dan H. Basuni (Camat Astambul).
Pada kesempatan itulah H. Madslam diberitahu bahwa intan sudah diserahkan kepada Presiden Soekarno pada hari Senin, 30 Agustus 1965.

RABU, 1 SEPTEMBER 1965
H. Madslam dan rombongannya dibawa berkeliling kota Jakarta. Mereka diinapkan di Hotel Indonesia, hotel terbesar dan termewah di tanah air kita ketika itu. Setelah itu mereka dibawa berkeliling kota Bandung.
Pada kesempatan berada di Jakarta ini, H. Madslam sempat meminta pihak yang berkepentingan untuk membantu bagaimana caranya supaya mereka dapat bertemu langsung dengan Presiden Soekarno.
Sesuai dengan prosedur resmi, pihak protokoler istana ketika itu berjanji akan menghubungi para ajudan supaya H. Madslam dan rombongannya dapat bertemu Presiden Soekarno.
Tapi, karena padatnya jadwal acara yang harus dijalani Presiden Soekarno, maka H. Madslam dan rombongannya tak kunjung dipanggil untuk bertemu.

KAMIS, 2 SEPTEMBER 1965
Presiden Soekarno memberi nama Intan Trisakti untuk intan hasil temuan H. Madslam dkk.

SENIN, 6 SEPTEMBER 1965
Setelah berada di Surabaya, Jakarta, dan Bandung selama 7 hari, H. Madslam dan rombongannya hari ini tiba kembali di kota Cempaka.

RABU, 29 SEPTEMBER 1965
H. Madslam hari ini menerima uang sebesar Rp. 200 juta dari pemerintah pusat. Uang yang diterimanya itu merupakan uang pembayaran tahap pertama untuk pembelian Intan Trisakti. Pada hari itu juga uang dimaksud dibagi rata kepada mereka yang berhak menerimanya.

KAMIS, 30 SEPTEMBER 1965
Terjadi huru-hara politik di Jakarta. PKI melakukan penculikan atas 7 orang petinggi TNI AD. Para tinggi TNI AD itu kemudian dibunuh dengan cara-cara yang sadis di suatu tempat di Jakarta yang disebut lubang buaya.

JUM’AT, 1 OKTOBER 1965
Panglima Kostrad Mayjen Soeharto berhasil menumpas habis G.30.S/PKI yang dipimpin oleh Letkol Untung dari Resimen Tjakrabirawa.

13 Desember 1965
H. Madslam dkk kelimpungan, tanpa diduga sama sekali pemerintah pusat melakukan sanering, yakni memotong nilai uang dari Rp. 1.000,- menjadi Rp. 1,- (Lembaran Negara Nomor 102/1965). Uang pembayaran harga intan yang baru mereka terima langsung merosot nilainya menjadi Rp. 200 ribu saja.

PEBRUARI 1966
Presiden Soekarno berhasil meredakan suhu politik yang sempat memanas setelah meletusnya huru-hara G.30.S/PKI. Kesempatan ini digunakan oleh pemerintah pusat untuk membayar harga beli Intan Trisakti pada tahap kedua sebesar Rp. 200 ribu uang baru yang setara dengan Rp. 200 juta uang lama. Pada hari itu juga uang dimaksud dibagi rata kepada mereka yang berhak menerimanya.

MARET 1966
H. Madslam menerima uang sebesar Rp. 960 ribu uang baru yang setara dengan Rp. 960 juta uang lama dari pemerintah pusat. Uang yang diterimanya itu merupakan uang pembayaran tahap ke tiga untuk pembelian Intan Trisakti. Tapi, uang ini tidak dibagikan karena merupakan uang yang harus mereka bayarkan untuk ongkos naik haji secara berombongan bagi 86 orang calon jemaah haji. Rinciannya 22 orang berstatus sebagai anggota kelompok pendulang intan penemu Intan Trisakti, 22 orang istri/istri mereka, dan sisanya adalah calon jemaah haji yang berstatus sebagai pemilik tanah, pemilik pompa, pemilik peralatan lainnya, para pejabat Pemda Kalsel, dan para pejabat Departemen Pertambangan Jakarta (yang juga berangkat beserta istri/suaminya masing-masing).

15 JUNI 1966
Mulyono, pejabat Bank Indonesia Jakarta, hari ini menyerahkan Intan Trisakti kepada Dr. IC Berg. Penyerahan Intan Trisakti dilakukan di anak tangga pesawat terbang KLM yang sudah siap tinggal landas dari Bandara Kemayoran Jakarta menuju ke Den Haag, Negeri Belanda. Menurut rencana Intan Trisakti akan diperiksa oleh tim ahli dari NV Asecher Belanda.

9 NOVEMBER 1966
Tim ahli NV Asher Belanda menemukan cacat fisik pada Intan Trisakti. Ada fleks (kotoran) yang melekat didalamnya. Fleks itu harus dibuang lebih dulu. Selain itu, pihak NV Asecher juga menyarankan agar Intan Trisakti dipotong-potong menjadi beberapa butir. Alasannya, jauh lebih mudah menjual beberapa butir intan berukuran kecil, daripada menjual sebutir intan berukuran besar.
Pemerintah pusat menyetujui semua usul NV Asecher itu. Intan Trisakti kemudian dipotong-potong hingga menjadi beberapa butir. Butiran terbesar konon berukuran 60 karat. Intan ini kemudian dibeli oleh seorang pengusaha Jerman sebagai hadiah untuk istrinya. Butiran intan lainnya yang berukuran lebih kecil juga dibeli orang tak lama setelah selesai dipotong dan digosok oleh tim ahli NV Asecher Belanda.

DESEMBER 1966
H. Madslam menerima uang sebesar Rp. 2.140.000,- dari pemerintah pusat. Uang yang diterimanya itu merupakan uang pembayaran tahap ke empat (tahap terakhir) untuk pembelian Intan Trisakti. Pada hari itu juga uang dimaksud dibagi rata kepada mereka yang berhak menerimanya.

1973
H. Madslam berangkat ke Jakarta untuk menemui seorang pejabat BPU Pertambun yang berjanji akan membantunya menuntut pembayaran tambahan kepada pemerintah pusat atas harga penjualan Intan Trisakti miliknya.
H. Madslam ketika itu cuma menerima surat penghargaan yang diberikan oleh Menteri Pertambangan RI Armunanto (Anggota Kabinet Seribu Menteri.
Setelah sempat menggelandang selama 2 hari di Istora Senayan Jakarta, H. Madslam akhirnya berhasil pulang kembali ke kota Cempaka.
Biaya untuk pulang kembali ke kota Cempaka itu diperolehnya dari bantuan Ridwan Machmud, pejabat BPU Pertambun Jakarta yang bersimpati kepada nasib buruknya.
19 JUNI 1975
H. Madslam dkk mengangkat Antara Hutauruk sebagai pengacara yang akan bertindak atas nama mereka dalam usaha menuntut tambahan pembayaran atas harga jual beli Intan Trisakti kepada pemerintah pusat.
Langkah pertama yang ditempuh Antara Hutauruk adalah mengirim surat kepada Direktur Utama BPU Pertambun Jakarta. Isi surat itu adalah pihak klien yang diwakilinya menuntut tambahan pembayaran atas harga jual beli Intan Trisakti kepada pemerintah pusat.

19 JULI 1975
Antara Hutauruk kembali mengirim surat kepada Direktur Utama BPU Pertambun Jakarta. Isi surat itu adalah pihak klien yang diwakilinya menuntut tambahan pembayaran atas harga jual beli Intan Trisakti kepada pemerintah pusat.

19 AGUSTUS 1975
Antara Hutauruk mengirim surat kepada Presiden Soeharto. Isi surat itu adalah pihak klien yang diwakilinya menuntut tambahan pembayaran atas harga jual beli Intan Trisakti kepada pemerintah pusat.

2 OKTOBER 1975
Antara Hutauruk menerima balasan dari Inspektur Jenderal Departemen Pertambangan RI (Laksamana Muda JU Sulamet). Surat balasan itu berisi penjelasan bahwa masalah pembayaran harga jual beli Intan Trisakti telah lama diselesaikan oleh pemerintah pusat.

19 OKTOBER 1975
Antara Hutauruk mengirim surat kepada Inspektur Jenderal Departemen Pertambangan RI (Laksamana Muda JU Sulamet). Melalui surat yang dikirimkannya itu Antara Hutauruk mengajukan sejumlah argumen dan fakta-fakta yang mendukung klaimnya bahwa kliennya sangat layak untuk mendapatkan uang tambahan pembayaran dari pemerintah pusat atas transaksi jual beli Intan Trisaskti telah lama diselesaikan oleh pemerintah pusat.

28 OKTOBER 1975
Sekretaris Menteri Negara Penertiban Aparatur Negara mengirim surat kepada Gubernur Kalsel. Surat itu berisi penegasan bahwa masalah pembayaran harga jual beli Intan Trisaskti telah lama diselesaikan oleh pemerintah pusat.

19 JANUARI 1976
Antara Hutauruk mengirim surat kepada Presiden Soeharto dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Isi surat itu adalah pihak klien yang diwakilinya menuntut tambahan pembayaran atas harga jual beli Intan Trisakti kepada pemerintah pusat.
26 PEBRUARI 1976
Antara Hutauruk menerima surat balasan dari Mudjono, SH, Sekretaris Jenderal DPR RI. Surat itu berisi penegasan bahwa masalah pembayaran harga jual beli Intan Trisaskti telah lama diselesaikan oleh pemerintah pusat.

16 NOVEMBER 1976
Antara Hutauruk mengirim surat kepada Sekretaris Jenderal DPR RI di Jakarta. Melalui surat yang dikirimkannya itu Antara Hutauruk mengajukan sejumlah argumen dan fakta-fakta yang mendukung klaimnya bahwa kliennya sangat layak untuk mendapatkan uang tambahan pembayaran dari pemerintah pusat atas transaksi jual beli Intan Trisaskti telah lama diselesaikan oleh pemerintah pusat.

5 JANUARI 1978
Antara Hutauruk kembali mengirim surat kepada Presiden Soeharto. Isi surat itu adalah pihak klien yang diwakilinya menuntut tambahan pembayaran atas harga jual beli Intan Trisakti kepada pemerintah pusat.
5 JANUARI 1978
Majalah Dialog Jakarta menurunkan tulisan bersambung tentang kisruhnya dan belum tuntasnya pembayaran harga jual beli Intan Trisakti oleh pemerintah pusat kepada H. Madslam dkk.

7 NOVEMBER 1979
Antara Hutauruk mengundurkan diri sebagai pengacara H. Madslam dkk.

1 komentar:

  1. Saya sudah menerbitkan buku berjudul Tragedi Intan Trisakti. Siapa berminat silakan menghubungi saya. Terima kasih

    BalasHapus