Oleh Tajuddin Noor Ganie
Perkenalanku dengan M. Rifani Djamhari alm (MRD) terjadi pada tahun 1980. Ketika itu ia masih kuliah di Faperta Unlam dan kost di bilangan Jalan Jintan Banjarbaru II. Aku datang ke tempat kostnya bersama Tarman Effendi Tarsyad (TET). Kedatanganku dan TET ke sana adalah untuk menyerahkan puisi secara langsung kepadanya. Aku dan TET ketika itu tengah mencoba peruntungan dalam lomba tulis puisi yang diadakan oleh MRD dan kawan-kawan.
Pada mulanya aku merencanakan akan mengirim puisi lomba itu melalui jasa pos. Namun, rencana itu berubah ketika aku bertemu TET di RRI Nusantara III Banjarmasin. Aku dan TET bertemu pada saat mengikuti siaran Untaian Mutiara Sekitar Ilmu dan Seni (UMSIS).
“Bagaimana kalau puisi ini kita antar langsung ke Banjarbaru. Bukankah setiap hari Sabtu kamu pulang ke Banjarbaru?”
“Hemm, tapi aku tidak tahu di mana tempat kostnya?”
“Aku tahu. Nanti kita sama-sama ke sana. Aku juga mau mengantar puisiku.”
“Baiklah kalau begitu. Deal.”
Sejak tahun 1979, aku bekerja di Banjarmasin. Praktis sejak itu pula aku tidak tinggal di Banjarbaru lagi. Namun, setiap hari Sabtu aku selalu menyempatkan diri pulang ke Banjarbaru. Aku menengok orang orang tuaku yang tinggal di bilangan Jalan Guntung Lua (sekarang Jalan Zamzam Jailani).
Suatu siang yang panas aku dan TET datang bertandang ke tempat kost MRD. Kebetulan MRD sedang berada di rumah. Cukup lama juga kami berbincang-bincang dengan MRD di rumah kostnya itu.
Sebelum bertemu untuk kali yang pertama, aku sebenarnya sudah mengenal nama MRD sebagai sastrawan Kalsel rising star yang bakatnya sangat menjanjikan. Terbukti, puisi-puisi ketika itu selalu disiarkan di UMSIS edisi awal bulan. Perlu saya jelaskan puisi-puisi yang disiarkan di UMSIS edisi awal bulan adalah puisi-puisi yang dinilai berkualitas oleh pengasuhnya, yakni Bapak H. Hijaz Yamani alm dan Bapak Ismail Mulia Muning alm.
Aku sendiri baru memulai karier sebagai penulis puisi. Diam-diam aku mengagumi MRD. Aku sangat salut dengan prestasinya menyabet gelar juara pertama lomba penulisan puisi bertema kepahlawanan yang diselenggarakan oleh Kantor Wilayah Departemen Sosial Kalimantan Selatan (Kanwil Depsos Kalsel) pada tahun 1977.
Tahun 1970-an, Kanwil Depsos Kalsel menyelenggarakan secara rutin lomba tulis puisi dan esei bertema kepahlawanan.
Pada zamannya, lomba ini sangat bergengsi. Selain memperoleh hadiah uang, pemenangnya juga diberangkatkan ke Jakarta untuk mengikuti rangkaian kegiatan Peringatan Hari Pahlawan Tingkat Nasional di Istana Negara. Puisi MRD dimaksud ikut dimuat dalam antologi puisi bersama Tiga Karangan Sajak Perjuangan Sayembara Mengarang Hari Pahlawan (Jakarta, 1977).
Beberapa tahun kemudian aku memang berhasil meraih prestasi yang sama, yakni sebagai pemenang lomba menulis esei kepahlawanan. Namun, sayang seribu kali sayang, kebijakan pemerintah telah berubah. Pemenangnya kali ini tidak lagi diberangkatkan ke Jakarta, tapi cuma diberi hadiah uang dan sebuah radio transistor.
“Hehehe, prestasinya sama, tapi rezekinya berbeda.”
Boleh jadi, karena sama-sama menyukai puisi, cerpen, dan esei sastra, maka sejak tahun 1980 itu aku dan MRD langsung akrab. Keakraban itu berlangsung selama 29 tahun hingga MRD dipanggil menghadap-Nya pada hari Sabtu, 20 Maret 2009 ybl.
Meskipun tinggal di Banjarbaru, namun MRD sering bolak-balik ke Banjarmasin. Maklumlah, rumah keluarga besarnya ketika itu masih di kota Banjarmasin, tepatnya di bilangan Jalan Jati, depan Pasar Antasari sekarang ini. Kami sering bertemu di RRI Nusantara III Banjarmasin untuk mengikuti siaran UMSIS.
Ketika Himpunan Penyair Muda Banjarmasin (HPMB) didirikan pada tahun 1981, MRD tercatat sebagai salah seorang pendirinya bersama-sama dengan TET (Ketua), Micky Hidayat (Wakil Ketua), Sri Supeni alm (Bendahara) dan aku sendiri (Sekretaris). Hingga sekarang HPMB belum dibubarkan dengan resmi lho (cuma vacum cleaner saja, hehehe). Maklumlah, beberapa orang pendirinya sekarang ini sudah aktif di Komunitas Sastrawan Indonesia (KSI) Kalsel sehingga tidak punya waktu lagi untuk mengurusi HPMB.
Persahabatanku dengan MRD semakin intens saja, ketika pada tahun 1982, MRD menjadi salah seorang wakil Kota Banjarbaru dan aku menjadi salah seorang wakil Kota Banjarmasin dalam Forum Penyair Muda Kalsel yang digelar oleh HPMB bertempat di Balai Wartawan Banjarmasin (18-19 September 1982). Salah satu puisi yang dibacakan MRD ketika itu adalah puisi yang kukutipkan di bawah ini.
LAGU SANGSAI III
Pada bangku batu ini, angin
Mengirimkan daun-daun kuning
Dan senja menggincuinya, sia
Sia kau tinggalkan aku di sini
Pada bangku tua ini, aku bagai
Pemabuk, tetap duduk
Dan mencumbuinya,
berlembar-lembar senja luruh
Selain bertemu diforum-forum sastra yang bersifat resmi semacam itu, aku dan MRD juga sering bertemu dalam forum-forum silaturahim yang bersifat tidak resmi. Tidak hanya itu, sebagai kritikus sastra amatiran, aku juga sering menulis ulasan tentang puisi-puisi MRD. Hanya saja, MRD tak pernah menanggapinya. Jadi aku tidak pernah tahu dengan persis apakah ia setuju atau tidak dengan kritikan-kritikanku terhadap puisi-puisinya itu.
Aku sependapat dengan kawan-kawan sastrawan lain bahwa MRD adalah figur yang santun. Namun, aku juga mencatat ada tabiat positif MRD lainnya yang juga menonjol, yakni teguh pendirian, konsekwen, kritis, berani berbeda pendapat, dan berani pula mengungkapkannya secara terbuka di surat kabar.
SKH Radar Banjarmasin edisi Minggu, 4 April 2004, memuat tulisan MRD berjudul SBSB : Kenduri di Rumah Orang Lain. Tulisan ini dengan lugas menunjukkan sikap pribadinya yang kritis dan berani. Melalui tulisannya yang dikemas dalam bentuk surat sastra itu MRD mengkritisi sikap sastrawan Jakarta yang menjadi panitia SBSB yang sepertinya melupakan keberadaan sastrawan Kalsel.
Dampak dari tulisan MRD itu adalah diadakannya pertemuan silaturahim dadakan antara sastrawan Jakarta dan sastrawan Kalsel yang difasilitasi oleh pihak SKH Radar Banjarmasin. Pada kesempatan itu friksi yang sempat mencuat ke permukaan berhasil diredam melalui forum dialog yang berlangsung dari hati ke hati dan penuh kekeluargaan. Hasilnya happy ending.
MRD kembali menunjukkan kualitasnya sebagi figur yang kritis dan berani ketika menyambut terbitnya antologi puisi Ajamuddin Tifani alm berjudul Tanah Perjanjian (Hasta Mitra Jakarta, 2006). Dalam tulisannya berjudul …. Sebab Ia Adalah Ajamuddin Tifani Penyair Yang …itu MRD mengkritisi banyak hal yang mengusik hatinya. Aku kira, apa yang dikemukakan oleh MRD di SKH Radar Banjarmasin edisi Minggu, 13 Agustus 2006 itu, layak, layak, layak (tiga kali) diperhatikan oleh semua pihak jika nanti tergerak hatinya untuk menerbitkan ulang antologi puisi Ajamuddin Tifani dimaksud.
Pada tanggal 14 Oktober 2008, aku dan MRD tampil sebagai pembicara pada session yang sama di hadapan para Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di Kota Banjarbaru dan Kabupaten Banjar. Aku, MRD, dan sejumlah kawan sastrawan Kalsel lainnya diminta oleh Balai Bahasa Banjarmasin untuk saling bertukar pikiran dan pengalaman dengan para guru SMTP/SMTA yang menjadi peserta penyuluhan sastra bertema Generasi Muda dan Sastra Indonesia.
Mestinya, Sabtu, 28 Februari 2009, aku dan MRD akan bersanding lagi dalam diskusi sastra membahas Situasi Mutakhir Kritik Sastra Indonesia di Kalsel 2000-2008 bertempat di Aula Perpustakaan Unlam Banjarmasin. Namun, karena kesibukan kerjanya yang begitu rupa, MRD tidak jadi tampil sebagai pembicara dalam diskusi sastra dimaksud.
Namun, meskipun lama tidak saling bertemu secara fisik, aku dan MRD dalam satu tahun terakhir ini masih sering saling bertukar SMS. Hampir setiap kali tulisanku dimuat di sebuah koran, MRD pasti mengirim SMS yang berisi ucapan selamat, pujian, atau kritikan atas tulisanku. Tidak jarang ia minta dikirimi naskah aslinya via email.
Selasa, 16 Juni 2009, sesaat sebelum menghadiri acara peluncuran buku kumpulan cerpen Hajriansyah di Aula Perpustakaan Unlam Banjarmasin saya menerima SMS dari Ali Syamsuddin Arsi dan YS Agus Suseno yang mengabarkan bahwa MRD sedang dirawat di RSU Ulin Banjarmasin.
Siang hari itu juga, aku dan TET datang ke RSU Ulin Banjarmasin untuk mengunjungi MRD yang sedang tergolek lemah (koma) di sana. Aku dan MRD tidak dapat saling berkomunikasi lagi. Aku hanya bisa memandangi wajahnya yang putih bersih tak berdosa itu dengan perasaan sedih yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata lagi.
Akhirnya, selamat jalan sahabat. Semoga engkau mendapat tempat yang layak di sisi-Nya. Semoga semua karya sastra tulisanmu menjadi warisan ilmu yang berharga (bermanfaat) sehingga menjadi amal jariah yang tidak akan pernah putus-putusnya mengalirkan pahala atas namamu sampai hari akhir nanti. Amin.
Paling akhir aku juga mendoakan, semoga keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan untuk menerima kehilangan yang sangat, sangat, sangat besar ini. Amin.
APA DAN SIAPA
M. RIFANI DJAMHARI ALM
Oleh Tajuddin Noor Ganie
M. Rifani Djamhari (MRD) dilahirkan di Margasari, Tapin, Kalsel, 8 Juli 1959.
Sarjana S.1 Jurusan Tanah (Kesuburan Tanah) Fakultas Pertanian Unlam Banjarmasin (lulus 1989). Selain itu, MRD juga memegang sertifikat AMDAL A, B, dan C.
Pernah bekerja sebagai Asisten Peneliti Doktor Kathy Mac Kinnon. Selain itu juga pernah bekerja sebagai praktisi, pengajar, penilai, dan penyusun analisis dampak lingkungan (AMDAL) di PPLH Unlam Banjarbaru. Terakhir, MRD bekerja sebagai konsultan AMDAL di CV Harmoni Banjarbaru.
Mulai menulis puisi, cerpen, dan esei sastra sejak tahun 1980-an. Publikasi karya sastranya di SKH Banjarmasin Post, SKH Dinamika Berita Banjarmasin, Majalah Topik Jakarta, Majalah Hai Jakarta, Majalah Zaman Jakarta, dan Majalah Sastra Horison Jakarta.
Antologi pusinya antara lain Oda dan Do’a (Banjarbaru, 1977), Lanskap Laut (Banjarbaru, 1979), Sajak Sajak (Banjarbaru, 1980), Sajak Jambon Buat Dik Ami (Banjarbaru, 1981), Luka (Banjarmasin, 1982), dan Surat Terbuka Seorang Lelaki dengan Vonis Mati (Banjarbaru, 2004).
Antologi puisi bersama yang ikut memuat puisi-puisinya antara lain Tiga Karangan Sajak Perjuangan Sayembara Mengarang Hari Pahlawan (Jakarta, 1977), Bandarmasih (Edisi Puisi, 1980), Pesta Baca Puisi Keislaman dan Kepahlawanan (Banjarbaru, 1980), Kuala (Marabahan, 1984), Antologi Puisi Fakultas Pertanian Unlam Banjarbaru (Banjarbaru, 1986), Tamu Malam (Banjarmasin, 1992), Festival Puisi Kalimantan (Tajuddin Noor Ganie, Banjarmasin, 1992), Jendela Tanah Air (Banjarmasin, 1995), Rumah Hutan Pinus (Banjarbaru, 1996), Antologi Puisi Islami Al Banjari (Banjarmasin, 1996), Jendela Tanah Air (Banjarmasin, 1996), Gerbang Pemukiman (Banjarbaru, 1997), Bentang Bianglala (Banjarbaru, 1998), Bahana (Banjarbaru, 2001), Taman Hati (Banjarbaru, 2001), Cakrawala (Banjarbaru, 2002), Anak Zaman (Banjarbaru, 2004), Air Mata Malam Malam (Banjarbaru, 2004), dan Seribu Sungai Paris Barantai (Kotabaru, 2006).
Buku MRD yang lain Karakteristik Ekosistem Pertanian Lahan Basah : Dengan Referensi Khusus Sistem Orang Banjar (UI Press Jakarta, 1998).
Forum sastra yang pernah diikutinya antara lain Forum Penyair Muda Delapan Kota Kalsel (Banjarmasin, 1982), Aruh Sastra Kalsel I (Kandangan, 2004), dan Aruh Sastra Kalsel II (Pagatan, 2005),.
MRD adalah Ketua Forum Penulis Banjarbaru (1988-sekarang), Sekretaris V Forum Komunikasi Penulis Kalimantan Selatan (1989), Ketua HIMSI Kota Banjarbaru dan Kabupaten Banjar (1989), Ketua Kombid Sastra BKKNI Kotif Banjarbaru (1990-1991), Ketua Kombid Sastra Dewan Kesenian Daerah (DKD) Banjarbaru (1994), Wakil Ketua Forum Dialog Sastra (Fordias) Kalsel (Banjarmasin, 1995), Direktur Lembaga Pusat Dokumentasi Kliping Wacana Banjarbaru (1995), Direktur Pusat Dokumentasi Sastra, Budaya, dan Lingkungan Jerami Banjarbaru (1995-sekarang), Sekretaris Kilang Sastra Batu Karaha Banjarbaru (1996), Pendiri Forum Taman Hati Banjarbaru (2002-sekarang), dan Pendiri sekaligus pengelola Kebun Penulis Banjarbaru (2007-sekarang).
Tahun 1997, MRD menerima hadiah seni bidang sastra dari Gubernur Kalsel (Drs. H. Gusti Hasan Aman).
Sabtu, 20 Juni 2009, Pukul 01.30 WIB, MRD meninggal dunia ketika masih dalam perawatan di RSU Ulin Banjarmasin. Sabtu, 13 Juni 2009, Pukul 12.00 WIB, MRD dimakamkan di Pemakaman Umum RP Soeparto Banjarbaru.
Assalamualaikum.....
BalasHapuswaaah,,,, kisah nan panjaang dan sungguh mengesankan..... Mudah-mudahan bisa memberikan inspirasi dan motivasi buat saya dan teman-teman untuk mulai berkarya... setidaknya mulai melangkahkan kaki mendekati garis sastra dan akan mencoba untuk ikut menorehkan karya-karya..... amin
By. Muhammad Fahmi (Mahasiswa PBSID VII B. STKIP PGRI BJM)
Terima kasih atas komentarnya.Semoga kelak di kemudian hari anda sukses menorehkan karya-karya sastra yang bermutu tinggi di jagat sastra Indonesia. Insya Allah. Selamat berjuang terus pantang putus asa.
BalasHapus